Memoar Kepergian Papa

Hari ini, tepat satu bulan yang lalu, adalah hari yang paling sering aku takutkan selama ini. Ya, kehilangan papa..
Sebulan belakangan ini, aku bangun dengan tak lagi melihat papa sedang bersiap ke mesjid untuk sholat subuh. Sepulang dari mesjid, papa biasanya duduk di depan TV, melihat berita atau ceramah agama. Menjelang matahari naik, papa akan bertanya, “Mau sarapan apa, rani?”
Ya, papa masih saja memperlakukan aku seperti gadis kecilnya.  Padahal dariku ia sudah punya dua cucu. Tapi begitulah papa..

Pernahkah? Kau bangun dari tidur dan tiba-tiba kau menangis karena sadar bahwa seseorang yang sangat kau sayangi telah pergi? Atau, ketika hendak tidur. Hatimu dirundung rindu pada wajah yang tak akan bisa lagi kau lihat dalam retinamu?
Sebulan belakangan ini aku merasakannya.

Aku masih ingat jelas, hari-hari terakhir bersamanya. Setelah lima bulan lamanya aku tak lagi tinggal serumah dengan papa. Entah mengapa, beberapa hari setelah lebaran tahun ini, hati ini gelisah. Risau sekali. Ingin kembali ke rumah papa. Ingin kembali satu atap dengan mama.


Aku membujuk abinya anak-anak. Beliau enggan. Sudah sangat nyaman dengan kondisi kami saat itu. Tapi hati ini begitu ingin kembali. Tak perduli orang bilang apa. Aku hanya ingin kembali. Alhamdulillah, suami mengalah. Jumat, 6 Juli yang lalu kami kembali ke rumah Bungaraya.
Hari selasanya papa sakit. Padahal malam sebelumnya papa baik – baik saja. Kami masih nonton bareng seperti biasa. Tapi paginya, papa sudah tidak mau makan apa-apa lagi. Rabu sore, akhirnya kami putuskan untuk membawa papa ke RS mesti papa menolak. Karena kondisi papa sudah sangat mengkhawatirkan. Tidak ada sesuap nasipun yang masuk ke mulutnya. Minumpun papa enggan.
Menjelang isya, papa dibawa pulang. Kami yang di rumah heran kenapa dengan kondisi papa yang demikian teruknya, papa dibolehkan pulang oleh dokter. Kata dokter, papa hanya demam biasa. Sekali diinfus di rumah sakit, papa disarankan rawat jalan saja.

Kami pikir, paginya papa akan kembali pulih. Tapi tidak. Hingga puncaknya, jumat sore papa kembali dibawa ke rumah sakit swasta dekat rumah. Beliau di rujuk ke ICU, tapi penuh. Terpaksa, papa dirawat di UGD saja.

Sore itu, aku masih sempat melihat papa dirawat dengan berbagai selang yang dimasukkan ke dalam tubuhnya. Selang-selang itu untuk mengeluarkan darah dari dalam tubuh papa. Ya, sejak bulan puasa 2015 lalu, papa didiagnosis mengidap SIROSIS atau pembekuan hati. Hati papa, tidak lagi bisa menetralisir zat-zat tidak diperlukan yang masuk ke tubuh bersamaan dengan apa yang papa konsumsi. Puncaknya, awal tahun 2016. Racun yang ditubuh papa sudah sampai ke otak. Tersebab itu, papa seperti orang yang tak sehat jiwa. Meronta-ronta, tak bisa mengontrol gerakannya, ucapannya. Lama papa dirawat. Hampir dua minggu seingatku. Sejak itu, papa tidak boleh lepas minum obat dari dokter.
Pagi itu, aku masih ingat, ketika aku tengah memijat tangan mama. Papa yang baru bangun tidur, mengambil posisi duduk di dekat kami.
“ Memang enak, pijatan rani, ni ya... “, ucap papa. Sontak aku kaget.

“ Sembuh langsung kram tangan papa habis rani pijit malam tadi..”, lanjutnya. Aku tersenyum, lalu meluruskan pernyataan papa.
“ Bukan pijitan rani yang nyembuhin pa.. Allah. Rani perantara aja..”
“ Iyalah.. maksudnya ya gitu.. tapi memang enak, kalo udah dipijit ntu ngga mau berhenti rasanya..” sahut papa lagi. Mama pun tak kalah memberi testimoni.
“ Terus, harus pulak rani buka jasa jadi tukang pijat? “ candaku.
“ Iya ngga apa. Boleh juga tu.. “, jawab papa sambil tertawa.

Kami tertawa bersamaan.

Malam dimana papa dirawat di rumah sakit, aku di rumah bersama Haitsam dan Tsania. Abi mereka malam itu jadwalnya mengajar aikido. Jam sebelas malam, abi mereka pulang. Tidak lama, aku dapat pesan dari bang Toni untuk mencari pendonor untuk mengganti darah yang diambli di PMI. Aku langsung membuat broadcast massage untuk disebar via medsos. Ada beberapa respon.
Jam dua belas kurang, mama pulang dari RS, diantar oleh kak Iid. Tak lama setelah mengantar mama, kak iid kembali lagi untuk menjemput mama.

“Ma. Kita di suruh balik lagi ke rumah sakit...”

“Kenapa kak?”, tanyaku.

“Papa drop lagi..”

Saat itu lah, ketika hendak pergi ke rumah sakit lagi, papa berpesan, “Bersihkan rumah, ran...”

Aku tersentak. Hatiku tak enak. Tapi ku buang jauh-jauh fikiran itu. ku kerjakan pesan mama hanya karena aku berfikir bahwa nenek dan adik-adik papa akan menginap di rumah. Bukan karena kami akan kedatangan banyak tamu. You know what i mean?
Berselang setengah jam, mama pulang bersama nenek dan seorang adik perempuan papa. Kata mama kondisi papa sudah stabil. Alhamdulillah, bathinku.
Tapi hatiku masih tidak tenang. Ku  kirim pesan ke Bang Toni, menanyakan keadaan papa.
“Orang tu lagi berembuk... “ jawab bang toni via wa.

Perasaanku makin tak enak. Samar ku dengar Tsania menangis. Ternyata benar. Aku menyusuinya, dan kemudian tertidur. Jam dua kurang, bang Toni mengirim pesan. “ Bilang mama sama nenek, Ikhlaskanlah papa, lagi...”
Belum mampu aku mencerna, HP ku berbyunyi. Ada panggilan masuk dari bang UUT. Ku dengar isak tangis di ujung sana, “Kita ngga ada papa lagi..”
Seketika tangisku pecah. Kemudian disusul tangis mama, nenek, dan Mak Cik.
Ya, malam itu.. kami kehilangan papa.

Tahu apa  yang aku sesalkan?

Di saat-saat akhirnya, aku tak sempat ada disisi. Mentalqinkannya. Aku tak pernah berfikir bahwa papa akan pergi secepat itu. tanpa pertanda apa-apa yang berarti.

Kami baru menyadari bahwa yang ternyata beberapa waktu sebelum papa pergi, adalah sebuah pertanda. Seperti keinginan kuatku untuk kembali ke rumah papa. Saat lebaran lalu, seminggu sebelum PILGUBRI. Aku berencana pergi ke Taluk dengan papa, anak-anak dan abi mereka. Tapi urung karena aku sakit. Hari itu, kami masih tinggal di kontrakan. Papa dan mama tiba-tiba datang menjenguk. Sepulang mereka dari rumah, aku bilang sama Mas Han, “begini rasanya sakit jauh dari orang tua. Ini pertama kalinya umi sakit ngga di rumah papa.”

Aku masih ingat betul. Tiap kali aku sakit dan terjaga di malam hari, papalah yang aku panggil, bukan mama. Jika aku merasa takut sebab mimpi buruk, papalah yang aku panggil, bukan mama. Jika aku tengah ada masalah yang teramat pelik, ke papa lah aku cerita, bukan mama. Dan kini, tempat untuk semua itu tidak ada lagi.
Bagaimana rasanya?

Perih. Getir.

Hari ini, sudah berlalu satu bulan sejak hari pertama papa pergi. Dan rasanya, rindu... rindu sekali. Aku tak sempat memeluk papa. tak sempat meminta maaf padanya. Terakhir hanya di hari lebaran.
30 juni kemarin, aku genap 26 tahun. Aku baru sadar, diulang tahun kali ini lah, papa tidak mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Biasanya, papa tidak pernah lupa. Meski terlewat harinya, setelah ingat papa pasti mengucapkannya. Tapi hari itu tidak.

Hari itu, aku ingiiiiiiin sekali bilang ke papa, “Pa.. maafkan rani ya.. di 26 tahun usia rani, rani banyak salah ke papa. rani belum bisa buat papa bangga. Rani belum bisa bahagiain papa..”

Ya, ingin sekali. Tapi entah kenapa rasanya begitu berat. Tidak ada moment yang tepat untuk mengucapkannya. Bahkan dihari-hari terakhir papa. aku tidak berfikir papa pergi secepat itu. dan kini aku menyesalinya.

Menyesali, kenapa aku tidak cukup peka jika papa akan pergi. Menyesali, kenapa aku tidak cuku peka bahwa waktu ku bersama papa tidak akan lama lagi.
Dan kini... hanya mampu menangis dalam sunyi. Terisak sendiri dalam sepi.

Aku tahu, tak ada gunanya lagi menyesali semuanya. Tapi biarlah. Biarlah ku tuliskan penyesalan ini agar barangkali bisa menjadi pengingat bagi siapapun yang membacanya. Tulisan uni bukan untuk meratapi ia yang telah pergi. Hanya mencoba merekamnya dalam kata agar ketika nanti aku rindu, aku bisa membacanya kembali.

Paling tidak, aku masih jauh lebih beruntung. Karena sebelum papa pergi, papa sudah menitipkan aku pada seseorang yang bisa bertanggung jawab menjagaku, putri kecilnya. Dan harus aku akui, bahwa pilihan papa teramat tepat, untukku. Paling tidak, sebelum papa pergi, aku bisa menorehkan bahagia diwajah tuanya sebab tingkah lucu cucu-cucunya.
Sampai hari ini pun, Haitsam masih sering bertanya, “Mana atuk, mi?”

Suatu hari ini Haitsam akan tahu bahwa ia punya kakek yang begitu menyayanginya. Begitu pun Tsania. Meski Tsania belum sempat bisa mengenal atuknya seperti Mas-nya, Haitsam.

Papa, hanya kenangan-kenangan indahlah yang akan senantiasa rani ingat tentangmu.








Pekanbaru, 14 Agustus 2018

0 Response to "Memoar Kepergian Papa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel