Luka Dari Masa Lalu

“Sudah berlalu tiga tahun sejak kepergian suamimu, An. Tidakkah kamu ingin menikah lagi?” Mbak Ratih tiba-tiba bertanya, di tengah kesibukan kami mempersiapkan hidangan untuk akad pernikahan yang akan berlangsung malam nanti. Ya, malam nanti, di rumah ibu mertuaku, akan diadakan acara akad pernikahan untuk adik iparku yang bernama Ningrum. Sedangkan Mbak Ratih adalah kakak iparku. Sebelum Mbak Ratih, ada Mas Dwi, terakhir Ningrum. Mereka empat bersaudara. Suamiku anak ke tiga.

“Belum dipikirkan, Mbak. “ jawabku sekenanya.

“Kenapa tidak kamu pikirkan? Apa kamu tidak kasihan dengan Azzam? Dia sudah semakin besar. Dia butuh sosok ayah.” kata Mbak Ratih lagi.

Aku tersenyum. Kecut. Kurasakan dadaku menyempit. Sesak.


“Maafkan Mbak jika membuatmu sedih, An. Mbak hanya ingin yang terbaik untukmu dan keponakan Mbak. Lagi pula, suamimu juga akan mengerti.” lanjut Mbak Ratih lagi. Mungkin Mbak Ratih melihat ekspresi sedihku dari sudut matanya, hingga dengan cepat Mbak Ratih memberi klarifikasi sebelum aku bersuara.

Kami melanjutkan pekerjaan kami masing-masing, dengan masih menyisakan rasa sesak untukku yang aku sendiri tidak memahaminya. Apa dan kenapa? Hingga prosesi akad pernikahan ini selesai, rasa sesak itu masih menyelimuti relung hatiku yang telah lama kosong. Tiba-tiba aku merasa sangat rindu. Rindu pada dia yang telah lebih dulu pergi menghadap-Nya. Rindu pada seseorang yang jauh, di sana.

Kurasakan buliran hangat mengalir dari sudut mataku, membasahi bantal yang kugunakan berdua dengan sulungku, Azzam. Putraku sudah lelap dalam tidurnya. Wajahnya begitu teduh dan bersih, khas wajah anak-anak berusia lima tahun yang belum tergurat dosa. Wajah yang begitu mirip dengan ayahnya, yang sejak tiga tahun lalu telah memberi gelar yatim pada dirinya.

“Jika saja kamu masih disini, Mas. Tentu kamu akan bahagia melihat adik bungsumu akhirnya menikah dengan lelaki pilihannya. Tentu kamu juga akan bahagia melihat putra kita tumbuh dengan tampannya, persis seperti dirimu. Tiap kali aku melihat matanya, aku seperti melihat dirimu. Jika setiap melihatnya aku seperti ada bersamamu, lalu untuk apa lagi aku mencari lelaki lain untuk mengisi kekosongan hati ini. Aku merasa tidak perlu untuk itu.” lirihku dalam hati.

***

Aku berpamitan untuk pulang kepada ayah dan ibu mertuaku. Sejak kepergian suamiku, aku tetap menjaga hubungan baik dengan mereka, pun dengan seluruh keluarga suamiku. Walau bagaimana pun, mereka adalah orang tuaku juga. Aku bersyukur, mereka sangat menyayangiku. Sejak kepergian suamiku, mereka tak pernah menunjukkan sikap berkuasa atas diriku atau pun anakku. Mereka membebaskan aku untuk memilih jalan untuk meneruskan hidupku, sebagai janda beranak satu.

Tak pernah terfikirkan olehku akan berstatus janda di usia belum kepala tiga, 28 tahun. Sebelumnya, dalam khayalku, aku akan hidup bahagia bersama pria yang lima tahun lalu, datang meminangku. 

Benar saja, aku bahagia. Tapi, hanya berlangsung selama tak sampai usia Azzam genap dua tahun. Menjelang tahun ke tiga pernikahan kami, suamiku meninggal usai menggelar sholat Ashar di mesjid. Diagnosa dokter, karena serangan jantung.

Tidak sulit mencintainya, meskipun kami tak pernah mengenal sebelumnya. Ia datang begitu saja ke rumah orang tuaku, dan memintaku untuk menikah dengannya. Usut punya cerita, ternyata dia mengenalku ketika menemani Mbak Ratih memeriksakan kehamilannya, di rumah sakit ibu dan anak tempat aku bekerja sebagai bidan. Sejak itu, ia berusaha mencari identitasku, hingga akhirnya ia memberanikan dirinya meminangku. Menikahiku.

Tidak sulit mencintainya, meskipun kami tak pernah mengenal sebelumnya. Kepasrahanku pada Illahi menjadi satu-satunya pegangan untukku akhirnya berani menerima lamarannya. Orangtuaku pun tak perlu waktu lama untuk diyakinkan, mengingat keberaniannya dan niat tulusnya menjadikanku istri. Sejak saat itu, aku tetapkan hati untuk menjadikan dia sebagai imamku. Hingga kini, saat ia tak disisiku lagi, tak pernah terfikir olehku untuk mencari pengganti.

Tidak sulit mencintainya, dalam kondisi hatiku yang baru saja patah hati. Sebab kasih sayangnya seperti air yang melegakan dahaga. Aku lupa pernah terluka.

***

Hari ini adalah hari pertamaku bekerja setelah cuti yang aku ajukan seminggu lalu. Sebelum berangkat, aku sudah mengkondisikan Azzam. Waktu dhuha begini, ia pasti sedang sibuk untuk bersiap sholat dhuha bersama dengan teman-temannya di sekolah alam. Siang nanti, Azzam akan dijemput oleh ayahku. Menjelang malam aku baru akan menjemputnya. Atau ketika aku mendapatkan shift malam, Azzam akan kutitipkan di rumah orang tuaku. Begitulah hari-hari kulalui. Meski tak pernah terpikir oleku untuk mencari pengganti, jujur kuakui bahwa terkadang aku merasa sepi.
***

“Ibu Anggia Fatmala....”

Kudengar rekanku memanggil nama pasien yang akan memeriksakan kandunganya. Aku tersentak. Kuarahkan pandanganku ke bagian dimana para pasien menunggu antrian. Kulihat, seorang wanita berdiri dari tempat duduknya, dibantu oleh seorang lelaki yang aku yakin adalah suaminya.

Perlahan mereka berjalan ke meja pemeriksaan awal sebelum masuk ke ruang dokter. Rekanku yang menangani wanita itu. Memeriksa tekanan darahnya, menimbang berat badanya dan menanyakan beberapa hal terkait kandungannya.

Aku masuk ke ruangan dokter guna menemani Dokter Nisa memeriksa pasiennya. Tidak banyak catatan untuk pasien ini dikehamilanya yang memasuki usia enam bulan. Usai berkonsultasi dengan dokter, aku mengarakan pasien ini kebagian kasir. Hingga aku kembali ke ruang dokter, kudapati mereka ada di sana.

Wanita itu tersenyum padaku. Namun aku tak mampu menafsirkan arti senyumannya. Aku menatap dingin, sembari berharap Dokter Nisa tidak melihat ekspresi datarku. Karena jika beliau melihatnya, tentu aku akan diberi teguran jika pasien tidak ada lagi di ruangan ini, sebab sikapku yang tidak ramah saat itu.

Ya, Allah....

Aku tidak akan berat hati bersikap ramah teradap semua pasien, bahkan saat diriku teramat lelah sekali pun, atau bahkan saat aku meninggalkan Azzam di rumah orang tuaku padahal saat itu Azzam sedang sakit, aku akan tetap bersikap ramah dalam keadaan apapun. Tapi untuk kali ini, izinkan aku membuat pengecualian.

Pemeriksaan selesai. Kondisi kehamilan wanita ini dalam keadaan baik. Diprediksi, tiga bulan lagi ia akan melewati proses melahirkan. Aku mencatat hasil pemeriksaannya di berkas pemeriksaan pasien.  Setelah pemeriksaan selesai, seperti biasa, aku mengarahkan para pasien untuk menuju ke kasir. Saat ini untuk pertama kalinya aku membenci pekerjaanku.
***
Hari ini adalah hari yang buruk bagiku. Sejak bertemu wanita itu, hatiku teramat sesak. Panas seperti terbakar. Mataku perih. Beberapa kali aku ditegur oleh rekan kerjaku karena aku tidak lagi fokus dalam bekerja. Aku tiba-tiba merasa tidak enak badan. Usai makan siang, aku meminta izin untuk istirahat lebih lama dari seharusnya. Beruntung, rekan kerjaku saat itu berkenan memberi izin.

Ternyata luka dari masa lalu itu belum sembuh. Mungkin karena penawarnya telah tiada.

Memori beberapa tahun lalu bergelayut dipikiranku. Kembali terbayang wajah dirinya yang pernah begitu aku cinta. Pertemuan kami yang tak disengaja disebuah perpustakaan saat aku masih kuliah dulu, telah menyemai rasa indah yang jamak disebut cinta. Aku yang belia, begitu dimabuk oleh asmara. Hingga hari berganti, rasa yang ada semakin menjelma menjadi rasa tak ingin kehilangan. Tapi apa yang harus aku katakan pada dunia? Jika ternyata ada wanita lain yang lebih memesona matanya.

***

“Apa salahku?“ sebuah pertanyaan kuajukan pada seorang laki-laki yang pernah mendatangi ayahku. Dia bilang, kelak ia akan datang lagi dengan keluarga besarnya, meminangku.

“Dua tahun belakangan ini, ku habiskan waktu untuk merangkai mimpi bahwa kelak kita akan bersama dalam mahligai pernikahan. Kau berhasil meyakinkanku bahwa aku tak perlu meragukan komitmenmu atas hubungan ini.“ kataku lagi.

“Kau nyaris sempurna dalam kebohonganmu. Bagaimana mungkin aku bisa percaya diri, bahwa orang sepertimu benar akan mempersuntingku.”

“Bukan begitu, An.” lelaki itu menyanggahku.

“Lalu apa? Lelaki mana yang tak akan jatuh cinta dengan wanita sempurna seperti dia. Cantik, pintar dan kaya. Apalah aku? Hanya seorang gadis bodoh yang begitu buta akan cinta. Aku percaya bahwa hanya ada aku dihatimu. Ternyata, sepasang mata bisa menggeser kedudukanku di sana. Oh, atau bahkan sebenarnya aku tak pernah ada di sana.”

Aku menangis saat itu. Mengingat betapa indahnya hari-hari yang pernah kami lewati bersama. Tentang cita-cita yang ingin kami wujudkan berdua. Dia dengan gelar dokternya, aku dengan gelar kebidananku. Membuka klinik untuk orang-orang tidak mampu. Sesederhana itu.

Hubungan kami, meski hanya lewat telpon genggam, dan pertemuan yang teramat jarang karena kesibukan masing-masing, tak membuatku pernah meragukannya barang sedikit. Entah karena dia yang bisa dipercaya, atau karena aku yang terlalu bodoh sebenarnya.

“Aku menunggumu dalam sabar. Menantimu pulang dengan gelar studymu. Aku bertahan untuk tak menghubungimu agar kau bisa fokus dengan pengabdianmu di sana, sesuai permintaanmu. Tidak ada siapa pun kuizinkan masuk ke hatiku saat kau tak di sini. Tapi ternyata, kau tak bisa melakukan hal yang sama di sana.“

Tangisku makin menjadi. Namun aku berupaya untuk sesunyi mungkin. Tak ingin menarik perhatian orang-orang di tempat kami bertemu saat itu. Sebuah taman di tepi danau. Kami duduk bersebelahan, beralaskan rerumputan hijau. Sore makin jingga. Pertemuan yang kunanti sejak lama, yang kupikir akan jadi babak kebahagiaan baru dalam hidupku, ternyata berubah jadi nestapa.

“Apa yang harus aku lakukan, An? “ Dia bertanya padaku.

“Tetaplah pada komitmen kita. Tetaplah memenuhi janjimu padaku. Kau akan datang menemui Ayah dan menikahiku. Kita bangun keluarga seperti cita-cita kita.” tangisku pecah. Aku mengiba pada lelaki yang sudah membuatku jatuh cinta setengah mati.

“Aku tidak bisa, An. Sulit bagiku untuk kembali pada cerita kita dimasa lalu.“ jawabnya.

“Kenapa? Apa alasannya?“

“Alasannya akan menyakitimu.”

“Perduli apa? Kau sudah melakukannya. Apa susahnya melakukannya sekali lagi? Aku bukanlah dia yang kau cinta bukan? Lakukan lagi. Tambah rasa sakit ini dengan memberiku alasan kenapa kau tak bisa menepati janjimu padaku? “ Aku mulai hilang kendali saat itu.

“Maafkan aku, An.”

Aku diam. Mulai kuatur nafasku. Kutenangkan hatiku yang ingin sekali dipuaskan amarahnya. Lukaku ini teramat dalam. Menyesali kebodohanku selama ini.

“Pergilah.” kataku pada lelaki itu.

“ An....” sahutnya.

“Pergilah. Pergilah sejauh mungkin agar aku tak pernah bisa melihatmu lagi. Pergilah sejauh mungkin agar aku tak perlu mendengar suaramu lagi. Pergilah sejauh mungkin. Aku tak akan memanggil namamu lagi. “

“Tapi, An... “
***

Aku ada tugas jaga malam ini. Azzam sudah kuantar ke rumah orang tuaku. Sepeninggal suamiku, aku memutuskan untuk tetap tinggal di rumah yang sudah suamiku hadiahkan untukku. Meski sederhana, ini cukup untuk aku dan azzam. Aku ingin azzam bisa tumbuh besar di rumah ini.
Jam menunjukkan pukul setengah empat dini hari. Aku baru saja menunaikan sholat tahajjud di mushala rumah sakit bersalin ini. Temanku Dina tengah sibuk di ruang UGD. Ada pasien yang akan segera melahirkan.

“An, tolong telfon Dokter Nisa. Pasien baru bukaan tiga, tapi pasien sudah semakin lemah. “
Aku sigap melakukan apa yang diminta rekan kerjaku itu. Tak kuperhatikan siapa yang ada di sana. Aku bersegera menyiapkan ruang operasi. Tak lama setelah itu Dokter Nisa datang, disusul oleh Dokter Rita, Dokter Ririn, serta dua temanku.

Aku bertugas mengurusi berkas-berkas pasien ini. Ada beberapa berkas yang harus ditandatangani oleh suami atau pihak keluarga pasien. Saat aku melihat data pasien ini, aku tersentak. Hatiku tiba-tiba terasa sakit lagi. Membaca sebuah nama yang tak lain adalah luka masa laluku. 

***

Operasi selesai. Dokter Nisa keluar ruangan disusul rekannya yang lain. Ke dua rekanku masih ada di dalam. Kulihat wajah Dokter Nisa begitu lelah. Bercampur rasa sedih yang teramat dalam. Dokter Nisa menghampiriku.

“Saya tidak berhasil.” kata Dokter Nisa sambil menyeka air mata. Tak pernah kulihat Dokter Nisa menangis jika ia selesai menangani pasien bersalin, kecuali jika..., aku mengerti apa yang terjadi.

“Seminggu yang lalu pasien ini menitipkan sesuatu pada saya. Ia minta jika ia tidak berhasil melewati proses persalinan ini, titipannya ini harus saya berikan pada Bidan Andriani. Ini....” Dokter Nisa memberikan sebuah amplop biru kepadaku.

“Pasien ini keponakan saya.” kata Dokter Nisa lagi sebelum meninggalkan aku sendirian dalam tanda tanya. Aku bingung. Dengan rasa penasaran, aku membuka amplop itu. Ada selembar kertas bertulis di dalamnya. Ini sebuah surat.


  

#rumbelmenulis_iip_pekanbaru
#tantanganmenulis_februari
#day6
#seharisatutulisan
#kelasliterasiibuprofesional
#February 
#day7

4 Responses to "Luka Dari Masa Lalu"

  1. Waahh,, luar biasa ceritanya. Endingnya unpredictable.

    BalasHapus
  2. Masyaallah.. makasih mba sudah mampir dan meninggal jejak 🤗

    BalasHapus
  3. Waw kakak...udah bayangin jalan cerita selanjutnya.. Tapi gk tau benar atau enggak. Hehe

    BalasHapus
  4. masyaAllah... keren sekali ceritanya. *tepuktangan

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel