Pillow Talk (Yang Mereka Ngga Tahu)

Bismillahirrahmanirrahiim..

Malam kemarin, saat pillow talk antara umi dan abi. Awal mulanya ketika abi bilang, “Mi... maaf ya, abi belum bisa nyediain rumah sendiri buat kita..."

Nyesss. Hati umi langsung basah. Mata ini juga. Bukan karena sedih sebab abi belum bisa nyediain rumah sendiri buat kami. Tapi karena umi bisa ngerasain kalo kalimat abi itu keluar dari hati kecilnya yang tengah resah. Ada yang mengusik jiwanya.

Jujur umi sedih. Sedih, karena.. kenapa sih ada aja orang yang tega gitu, mengusik standart hidup orang lain. Maksudnya, ya.. kenapa gitu harus menyamakan ukuran sepatu orang lain dengan ukuran yang dia pake. Harusnya, “Hei kamu kaya aku dong. Aku udah bisa gini gini gini. Kamu kok masih gitu?” What?!

Jadi gini, umi sejak menikah memang masih tinggal sama orang tua umi. Itu permintaan mendiang papa karena umi masih kuliah. Dan benar memang abi belum bisa nyiapin tempat tinggal sendiri buat kami. Karena memang kondisinya Abi belum punya tabungan untuk itu. Dan umi juga ngga pernah mempermasalahkannya.

Sebulan nikah ternyata Masyaallah umi hamil. Bertambahlah alasan kenapa umi masih menetap di rumah orang tua. Sampai akhirnya selesai kuliah dan wisuda Oktober 2016. Kami mulai nih ancang-ancang untuk cari kontrakan kecil-kecilan. Alhamdulillah dapet. Awal tahun 2017 pindahlah kami.

Qodarullah, Masyaallah..

Belum genap 2 bulan kami pindah, ternyata umi positif hamil. FYI ini memang direncanain. Memang udah niat, kalo Mas Haitsam usianya udah dua tahun umi ingin hamil lagi, dan Alhamdulillah Allah ijabah. Tapi ya itu ujiannya. Sama saat hamil Mas Haitsam, umi mual muntah parah. Lemes ngga kuat ngapa-ngapain. Ya terserah sih ya, kalo ada yang bilang umi manja, lebay, apalah-apalah. Cuma logikanya gini deh, siapa sih yang pengen ngedrop kalo hamil?

Semua ibu hamil kalo bisa milih pasti inginnya strong. Istilahnya hamil kebo kalo kata orang. Tapi ini kehamilan kedua bukannya makin ringan malah lebih-lebih dari Mas Haitsam. Sampai-sampai untuk nelan ludah sendiri umi ngga bisa. Kemana-mana bawa cangkir gitu untuk ngeludah [Maaf jorok]. Dan itu terjadi selama empat sampai lima bulan kehamilan.

Akhirnya dengan berat hati, kami balik lagi ke rumah orang tua. Alhamdulillah masih diterima. Wkwkwk :D

Singkat cerita, Tsania lahir 1 November 2017. Dan setelahnya umi minta pindah sama abi. Umi ingin belajar lebih mandiri ceritanya. Ingin ngerasain repotnya ngurus dua anak kecil-kecil sekaligus.

Akhirnya awal 2017 kami pindah. Dapat kontrakan kecil-kecilan Alhamdulillah. Kenapa nyari kontrakan? Karena umi dan abi memang belum punya buged buat punya rumah sendiri. Akhirnya pindahlah kami.

Kenapa ga nyicil aja beli rumah? You know what i mean, kan ya? Bukan karena ga bisa. Bisa aja kalo dibisa-bisain. Tapi masalahnya di sini. Kaminya yang ga mau. Udah cukuplah baca-baca cerita orang dan dengar langsung gimana mereka ga bisa tidur nyenyak karena hutang. Kami memang ga mau ambil resiko. Payah? Biarin :P

Saat itu masih suasana lebaran. Entah kenapa beberapa hari waktu itu umi kepikiran sama mama papa. Terutama papa yang udah mulai sering kambuh sakitnya. Beberapa hari itu umi keganggu pikirannya buat ingin balik aja ke rumah papa. Mau dekat aja dengan papa. Akhirnya, karena memang ada satu moment yang buat pas nih buat minta balik lagi sama abi ke rumah papa, jadilah kami angkut barang lagi.

Ternyata, inilah hikmahnya. Kami pindahan Hari Jumat tanggal 06 Juli 2018, Hari Selasa pagi tanggal 10 Juli 2018 Papa sakit. Qodarullah, Hari Sabtu 14 Juli 2018 dini hari, Papa meninggal. Meski sedih dan rasanya ngga percaya papa pergi secepat itu, tapi umi bersyukur masih bisa di dekat papa di hari-hari terakhirnya.

Baca cerita kepergian papa di sini.

Dan sejak itu sampai hari ini kami masih tinggal di rumah Bungaraya. Dan belum kepikiran buat pindah lagi. Karena kasian mama jika harus ditinggal berdua aja sama abang. Abi pun enggan untuk sekarang bawa umi pindah lagi atau ke Sungai Pagar karena kasian kalo ngeliat umi di sana ngga bisa ngapa-ngapain. Di sini umi bisa aktivitas ngembangin minat bakat umi dengan tanpa mengabaikan anak-anak. Di sini umi punya komunitas, organisasi positif buat umi terus belajar. Juga amanah-amanah lain yang harus dijalankan. Abi yang rela bolak balik Pekanbaru - Sungai Pagar karena memang abi lahan kerjanya di sana.

Balik lagi ke tentang “menyamakan ukuran sepatu orang lain dengan ukuran yang mereka pakai.” 

Tiap rumah tangga itu berbeda. Tantangannya berbeda. Sebuah rumah tangga yang menyatukan dua insan, sebelumnya mereka adalah dua pribadi yang juga punya latar belakang berbeda. Mereka berjuang untuk mengharmonikan kedua latar belakang itu agar tiada gesekan satu dan lainnya.

 Nah, dengan tiada aba-aba, ada saja keluarga lain yang sibuk jadi pengkritisi keluarga yang satu itu tadi. Mengatakan kalo sang suami kurang kerja keras buat anak istrinyalah, mengatakan kalo sang istri terlalu nyaman berlindung di rumah orang tuanyalah. Dan lah, lah, lah lainnya. Na’udzubillahimindzalik.

Padahal, umilah yang tahu gimana suami umi itu berjuang dengan usaha terbaiknya buat nafkahin umi dan anak-anak. Gimana beliau menahan diri untuk sekedar membeli keperluannya sendiri yang ternyata memilih buat nabung untuk membelikan hadiah buat anak sulungnya. Begitupun sebaliknya.

Abilah yang tahu sudah berapa banyak air mata yang umi keluarkan dalam usaha untuk sentiasa memantaskan diri agar memenuhi kriteria sebagai istri yang patut dibanggakan. Dan semua itu ada dibalik pintu yang orang-orang ga tahu.

Yang mereka tahu, oh iya masih numpang sama orang tua. Oh iya, belum punya rumah sendiri. Oh iya, belum punya roda empat. Oh iya, enaklah ya kemana-mana anak bisa ditinggal sama orang tua. Oh iya, masih... masih... masih... dan banyak lagi kriteria yang belum bisa kami penuhi sesuai dengan standart yang mereka buat sendiri. 

Oh, come on!

Sebenarnya umi masih mikir-mikir buat nulis ini. Nanti dikira curhat masalah rumah tangga. Tapi umi tetap nulis dengan niat semoga kalo ada istri-istri yang baca dan kebetulan ada di posisi seperti umi, mereka jadi bisa ngerasa punya teman sepenanggungan gitu. Ngga ngerasa sendiri. Semoga. Dan kalo yang baca masih single, semoga bisa jadi nambah khasanah baru buat mereka untuk kelak memasuki gerbang pernikahan. Ciile.

Okebaikkitalanjut. (spasi rusak)

Jadi intinya apa?

Jadinya gini. Kita tidak pernah benar-benar tahu “isi” rumah sebuah keluarga. Tantangan yang mereka hadapi, tekanan yang mereka rasakan, perjuangan yang sudah mereka upayakan, dan segala bentuk problematika kerumahtanggaan lainnya. Menjadi tidak bijak jika kita membandingkan diri kita dengan mereka agar mereka mau untuk menjadi sama dengan kita.
Apalagi hal sensitif tentang financial. 

Mereka yang pada awalnya merasa cukup, tapi terus-terusan diserang dengan argumen-argumen provokatif tentang standart kemapanan, pada akhirnya bisa saja terjerumus pada jurang ketidakbersyukuran pada apa yang sudah Allah beri. Kemungkinan terburuk, akhirnya melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan dalam agama untuk urusan mencari nafkah. Dan siapkah kita jika ternyata kitalah yang menjadi wasilah atas itu semua? Karena kalimat-kalimat provokatif kita? 

Obrolan berlanjut lewat tengah malam.

Umi bilang ke abi. Umi nikah ngga netapin standart muluk-muluk buat calon suami umi. Yang penting ngasih keleluasaan aja buat umi tetap bisa aktivitas sesuai passion umi. Harus mapan, punya ini itu, ngga. Meskipun tentu target-target hidup tetap ada. Tapi pernikahan dan hidup bukan hanya tentang itu (financial) saja.

Selama ini, umi sudah sangat takjub dengan cara Allah memberikan rezeki untuk umi. Kehadiran abi dan anak-anak saja sudah merupakan rezeki tak terhingga. Bagaimana mungkin umi tega memaksakan segala sesuatu yang umi tahu belum mampu untuk kita penuhi bersama.

Kekayaan bagi setiap muslim adalah sebuah keniscayaan. Sebab ia adalah hamba dari Allah yang Maha Kaya. Namun mengejarnya hanya demi pengakuan manusia tentu bisa mendatangkan kemudhoratan lainnya.

Rezeki bukan hanya tentang nominal angka yang tertera di buku tabungan. Apalagi keberadaan properti yang bisa dibanggakan. Tapi segala bentuk kemudahan dari Allah yang kita dapatkan dalam setiap hajat yang kita niatkan, itu juga rezeki yang harus banyak-banyak disyukuri.

Ikhtiar itu pasti. Kita juga bukan manusia  yang hanya berpangku tangan mengharapkan belas kasihan. Umi lah yang jadi saksi bagaimana abi berjuang banting-tulang untuk anak – anak dan umi. Dan dengan semua itu, tak sampai hati umi meminta abi untuk bekerja lebih keras lagi.

Tugas kita hanya TAAT kepada Allah. Itu kalimat yang selalu umi genggam erat. Rezeki biarlah Allah  yang kasih porsi. Yang jelas kita tak akan miskin. Karena dalam Al Quran Allah sudah katakan.  
" dan Dia-lah yang memberikan kekayaan dan kecukupan.” (QS. An-Najm : 48)

Miskin itu ada di mindset, dan rasa ketidakbersyukuran kita. Apa yang ada; nikmati, syukuri. Yang tak ada tak usah dikaji. Yang diinginkan maka ikhtiarkan. Jika belum diberi maka jangan berkecil hati. Bisa jadi yang kita inginkan itu bukanlah yang terbaik untuk kita, dan yakinlah Allah sudah siapkan yang lebih baik dari pada yang kita minta.

“Toh nanti Allah ga akan nanya, usia berapa kamu punya rumah sendiri? Usia berapa kamu punya mobil sendiri? Tapi yang Allah tanya, dari mana kita mendapatkan harta? Dengan jalan apa? Digunakan untuk apa? Ya, kan?"

Memang sih, kalo kita kaya kita lebih mudah buat berdakwah atau sedekah. Tapi kan ga ada perintahnya, kaya dulu baru dakwah atau sedekah. Kan? Semuanya bisa berjalan beriringan, Insyaallah. 

Abi pun tertawa.

Semoga itu pertanda bahwa abi tak lagi bersedih hati karena merasa belum mampu jadi suami yang baik sebab belum bisa menyediakan umi rumah sendiri. Doakan saja, agar umi bisa menjadi istri pembawa rezeki untuk abi. Sholehah serta Qonaah. Seperti yang abi tuliskan di lembaran proposal waktu itu. Seorang istri yang apabila memandangnya, menentramkan hati dan menenangkan jiwa 😊

Terakhir untuk melengkapi tulisan umi ini. Aadalah sebuah lirik lagu dari Ebit beat A. 

ALLAH TAK MELIHAT JABATAN KITA
ALLAH TAK MELIHAT HARTA KITA
ALLAH HANYA LIHAT IBADAH KITA
SHOLAT YANG UTAMA

Jadi, jangan lagi memaksakan sepatu orang bisa muat untuk kita, atau sebaliknya. ^^
Semoga bermanfaat. 
Wallahu'alam

MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN

#rumbelmenulis_iip_pekanbaru
#tantanganmenulis_februari
#day3
#seharisatutulisan
#kelasliterasiibuprofesional

MAHARANI YAS


0 Response to "Pillow Talk (Yang Mereka Ngga Tahu)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel