Berbatas Setipis Kain
Liburan kali ini sungguh berkesan.
Bagaimana tidak? Aku yang terlahir dari kota bertuah, tak pernah sekalipun
merasakan bagaimana sejuknya belaian angin yang berhembus dari arah lautan
menuju pantai. Namun diliburan kali ini, di usiaku yang beberapa bulan lagi
genap 20 tahun, tlah bisa ku rasakan kenikmatan itu.
Aku beserta rombongan perjalanan
yang terdiri dari pengurus sebuah
yayasan yang bergerak dibidang pembinaan remaja di kotaku, mengisi liburan kali
ini dengan menjelajahi Provinsi Sumatera Utara. Kala itu lah, aku bisa
merasakan sejuknya aliran sungai yang sangat jernih, deru deram suara ombak,
sejuknya angin pedesaan, hijaunya sawah yang belum tiba masa panennya, serta
memandang kebesaran Allah dari tingginya bukit yang dibawahnya terhampar danau
singkarak
Esoknya, aku mengajak ibuku untuk
menemaniku pergi ke ‘tukang urut’ tradisional langganan kami. Badanku terasa
pegal semua karena duduk berlama-lama di dalam mobil. Rasanya tentu akan nikmat
sekali jika badan ini diurut, pikirku.
“Perut anak ibu keras, saya rasa
karena ada kista. Coba nanti cek USG.” Kata ibuk tukang urut tersebut sembari
mengurut perutku.
Rasanya kakiku tiba-tiba mendingin
mendengar apa yang beliau sampaikan. Kista? Aku tahu penyakit itu, tapi aku
tidak tahu pasti. Aku pernah membaca Koran, ada seorang ibu yang perutnya
membesar karena penyakit ini. aku juga pernah membaca cerpen yang judulnya
kistadenoma, bercerita tentang seorang gadis yang perutnya membesar layaknya
ibu hamil, juga karena penyakit ini.
***
“Hebat ya tukang urut itu. Bisa
mendeteksi adanya kista. Saya saja jika hanya dengan tangan kosong, tidak tahu
apa ada kista di tubuh pasien atau tidak.” Kata dokter yang sedang melakukan
USG terhadap keluhanku.
“Sudah seberapa besar dok,
kistanya?” kataku berusaha setenang mungkin mendengar penjelasan sang dokter
terhadap penyakitku ini.
“Sudah 10 cm. itu yang paling besar.
Kamu lihat ini dan ini? bisa jadi bakal kista juga. Harus segera dibersihkan.”
Jelas sang dokter sambil menunjuk ke layar monitor.
“Maksudnya, dok?”
“Harus segera di operasi. Jika
dibiarkan, takutnya kistanya pecah dan akhirnya menjadi kanker. Atau bisa semakin
membesar. Saya sarankan kamu ke rumah sakit ini, temui dokter ini, beliau
dokter senior. Kamu masih gadis, butuh tangan ahli untuk melakukan operasi.”
Kali ini bukan hanya dingin, aku tak
lagi merasakan tubuhku sendiri. Kista. Membesar. Operasi. Ya Allah..
***
“Dari mana, Rin?” Tanya kakak iparku
saat aku mendatangi rumahnya sehabis dari pemerikasaan tadi.
“Rumah sakit,Kak. Periksa.” Jawabku
seadanya.
“Hasilnya?” Tanya kakakku lagi.
Wajahnya mengguratkan kecemasan. Itu baru kakakku, bagaimana jika ibuku yang
bertanya. Entahlah. Aku hanya mengangguk menjawab tanya kakakku tadi.
“Kata dokternya, udah 10 cm. Harus
operasi. Dokter itu rekomendasi operasinya dengan dokter ini kak, di rumah
sakit ini.”
“Ya lah, nanti kita cek lagi.”
***
Beberapa kali aku melakukan
pemeriksaan di rumah sakit dan dengan dokter yang berbeda. Aku tak ingin
gegabah. Bisa saja ada kesalahan, harapku. Setelah pemeriksaan pertama, aku tak
sendiri lagi, kali ini aku ditemani kakak iparku, Kak Icut. Aku jadi teringat
dengan cerpen yang ku baca, persis dengan kondisiku saat ini. Bedanya, perutku
belum seperti ibu-ibu yang sedang hamil 4 bulan ke atas.
“Operasi aja, bang.. Rina takut,
jika pakai pengobatan tradisional, yang ada bukan sembuh. Tapi tambah parah.
Dokter juga melarang. Kalau operasikan bisa di bayar lewat asuransi, tapi kalo
pengobatan tradisional kita harus siapkan uang cash. Lagi pula, rahim Rina juga ngga akan diangkat. Kistanya ada
di indung telur sebelah kiri. Rina masih bisa punya anak,” putusku ketika berdiskusi
dengan keluargaku malam itu. Mereka ikut saja dengan keputusanku. Jadilah,
esoknya aku kembali memeriksakan diri ke salah satu rumah sakit kenamaan di
kotaku, yang kebetulan berjarak tak begitu jauh dari rumahku. Hanya butuh waktu
10 menit dari rumahku jika menggunakan mobil. Aku membuat janji untuk operasi
dengan dokter kandungan di rumah sakit ini. namanya Dokter Lili. Setelah cek
darah dan melihat hasilnya, operasi bisa dilakukan hari minggu pukul 06 pagi.
***
Malam itu aku sudah harus menginap
di rumah sakit. Risih rasanya, karena ini pertama kalinya aku menginap di rumah
sakit, apalagi sebagai calon pasien. Sejak sore, aku memberi informasi
kebeberapa teman dekat soal kondisiku. Aku juga mohon doa. Semoga operasiku ini
berjalan lancar. Banyak diantara mereka yang tidak percaya, menganggapku hanya
bercanda. Mungkin karena semua informasi ini mendadak. Bukan hanya bagi mereka,
juga bagiku. Meskipun termasuk operasi kecil, tetap saja aku khawatir. Belum
lagi melihat wajah ibuku yang sangat tergambar kecemasan didirinya. Doakan Rina, ma..
***
Usai sholat subuh, aku dituntun oleh
seorang perawat untuk berganti pakaian operasi. Untuk menuju ruang operasi, aku
disodori kursi roda. Aku menolak. I’m
fine, batinku. Sebelum masuk ruang operasi, aku masuk dulu di ruang kecil
untuk diinfus. Pertama kalinya tanganku disuntik untuk dimasukkan selang infus.
Perih. Abangku yang sedari tadi malam menemani, harus berhenti sampai di
ruangan ini. Aku digiring memasuki ruang operasi yang sebenarnya.
Aku diminta untuk duduk di tempat
operasi berlangsung. Ku lihar Dokter Lili sibuk dengan peralatan medisnya.
Monitor, lampu, perawat yang berlalu lalang dengan pakaian yang seragam, tidak
lupa masker dan sarung tangan plastiknya. Mirip seperti yang seringku lihat di
televisi.
“Agak sakit sedikit ya.. “kata Dokter
Lili seraya menyuntikkan sesuatu di pinggul belakangku. Aku rasa itu obat bius.
Kemudian aku di suruh berbaring. cahaya lampu terasa menusuk mataku. Aku
rasakan ngilu yang teramat sangat mulai dari pinggul hingga kakiku. Aku
meringis. Kemudian tak ku rasakan lagi apa-apa.
***
Aku terbangun dari ketidaksadaranku.
Ku rasakan dingin yang teramat sangat dari ujung kaki hingga ujung jemari
tanganku. Beku. Dari gigiku terdengar bunyi akibat dingin yang hebat. Kurasakan
kering dan kehausan yang kesat ditenggorokanku. Ku lihat orang berlalu lalang,
tapi suaraku tak mampu keluar meminta mereka memberikanku seteguk air.
Tiba-tiba dadaku sesak terasa terhimpit benda keras dan panas. Nafasku
mengganjal ditenggorokanku. Ya Allah..
inikah sakratul maut? Lirihku membatin.
***
“Gimana kondisinya, ukh?” aku hafal
betul itu suara siapa. Saudariku, Novi.
“Alhamdulillah baik ukh..” jawabku
masih menahan nyeri di perutku.
Ruangan kamar ini penuh dengan
saudari-saudariku yang sudah menunggu sejak aku baru dipindahkan dari kamar
operasi tadi. Sekarang aku ada di kamar inap. Dalam hitungan 24 jam aku tak
boleh bangkit dari tempat tidur. Pinggangku sakit sekali rasanya. Tapi
untunglah ada saudari-saudariku yang setia menghibur. Bukan hanya menghiburku,
tapi juga menghibur ibuku yang tampak sekali kecemasan di gambar wajahnya. Tak
henti-henti beliau mengusap-usap kepalaku. Sesekali aku merintih menahan perih.
Ujung mataku masih terasa basah dan hangat.
Kini aku sadar, kebahagiaan dan
kesedihan itu hanya berbatas setipis kain, begitupun sebaliknya. Di satu waktu
aku baru saja tertawa renyah, kemudian aku bisa tak henti menangis. Nikmatnya
sehat tak pernah aku syukuri, sebelum sakit ini ku rasakan mengiris kulit.
Entah sudah berapa banyak dosaku karena lalai bersyukur.
T__T sedih banget bacanya kakak ,,,
BalasHapus