Mbak DITA
Mbak Dita, ia adalah salah satu kakak mentor di Rohis
sekolahku. Ketika aku duduk di kelas dua SMA, ia diamanahkan untuk menjadi
penanggung jawab Rohis di sekolahku ini. Setahun belakangan aku semakin dekat
dengannya. Mungkin karena aku sering curhat ke Mbak Dita tentang apa saja yang
tengah aku alami. Aku tidak tahu pasti mengapa, hanya saja rasanya setiap
untaian kalimat beliau selalu menenangkanku. Mungkin karena referensi
nasehatnya ialah Al-Quran dan hadist serta ilmu yang ia dapat dari buku islami
yang ia baca serta dari forum kajian-kajian keislaman yang didatanginya.
Sudah lima tahun sejak perkenalan kami dulu saat aku
masih duduk di kelas satu, hingga kini aku sudah berstatus mahasiswi semester
empat di salah satu perguruan tinggi kenamaan di kotaku. Banyak hal yang
berubah dariku sejak bersama dengan Mbak Dita. Sedikit demi sedikit, ilmu
pengetahuanku tentang Islam menjadi bertambah dan membaik. Hingga kini yang
paling ku syukuri adalah pengetahuanku tentang Allah dengan segala
ke-Mahaan-Nya. Hingga aku tidak ragu memenuhi perintah-Nya untuk berjilbab
sesuai syar’i. Alhamdulillah .. tidak ku dapati pertentangan dari keluarga
seperti yang Mbak Dita pernah alami.
Aku dan Mbak Dita tak pernah putus komunikasi, walau kini
aku lebih fokus melanjutkan estafet dakwah di kampus, meninggalkan Mbak Dita
yang tetap setia untuk tinggal di sekolah tempat kami pernah sama-sama menimba
ilmu. Sampai saat ini pun kedekatan kami masih tetap sama dengan yang dulu,
hingga hampir tidak ada rahasia yang berarti di antara kami. Usia yang terpaut
7 tahun, tak membuat kami merasa berbeda satu sama lain.
Bulan lalu, di hari ulang tahunku yang ke 20 tahun, Mbak
Dita datang ke rumah dengan membawa sebungkus hadiah. Sebuah gamis berwarna
biru lengkap dengan jilbabnya. Ya .. Mbak Dita tidak pernah alpa akan hari
ulang tahunku, dan aku pun berusaha demikian. Karena aku sangat menyayanginya,
dan ku rasakan hal yang sama darinya. Maklum, Mbak Dita bungsu dari kedua
kakaknya, jadi Mbak Dita punya alasan untuk memperlakukanku lebih istimewa
sebagai adiknya.
Tapi .. seiring berjalannya waktu, ada kekhawatiran
sebenarnya yang sering mengganggu pikiranku.
Aku tidak pernah mendapati Mbak Dita dekat dengan seorang
ikhwan. Ya .. Mbak Dita memang sangat menjaga pergaulannya. Hingga terkadang
aku iri, karena ku lihat Mbak Dita tidak pernah uring-uringan karena terserang
virus merah jambu. Tidak sepertiku yang sempat beberapa kali curhat tentang
tema ini kepadanya. Setiap kali aku bercerita, dipenghujung nasehatnya Mbak
Dita selalu bilang, “Allah menjamin seorang pendamping untuk kita, karena kita
kan memang diciptakan berpasangan. Jadi jangan takut tidak kebagian seorang
ikhwan. Yang jelas, kita harus mempersiapkan diri untuk dijemput oleh pangeran
itu dengan kualitas keimanan dan ketaqwaan yang baik kepada Allah. Karena
tentunya kita ingin seorang yang baik,kan? Sesuai firman Allah dalam QS.
An-Nur:26 ‘..wanita-wanita
yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula).’ Jadi, yang harus
kita lakukan saat ini adalah menunggu. Menunggu sambil Memperbaiki diri dengan
mengharap keridhoan-Nya. Insyaallah, pangeran itu akan datang sesuai waktu yang
ditetapkan-Nya. Tapi.. ingat ya.. jangan sampai niat untuk memperbaiki kualitas
keimanan dan ketaqwaan kita itu hanya karena ingin mendapatkan pasangan hidup
yang sholeh atau sholehah. Hijrahlah hanya karena Allah.. “
Setiap kali aku mendengar nasehat
Mbak Dita, bisa ku pastikan ia sama sekali tidak khawatir tentang jodohnya.
Bahkan diusianya yang sudah menginjak lebih dari seperempat abad ini. Padahal,
kedua kakak Mbak Dita selalu saja mengomel, mendesak Mbak Dita untuk segera
menikah. Karena diantara mereka bertiga, tinggal Mbak Dita yang belum
berkeluarga.
Terkadang aku jadi kesal sendiri
mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan kakak-kakak Mbak Dita, karena ku
rasa itu sangat menyakitkan. Mereka mengatakan Mbak Dita itu sok alim, sok
suci, perawan tua, bahkan pernah menuduh Mbak Dita itu lesbian. Astagfirullah
.. aku hanya bisa beristigfar ketika mendengar tuduhan-tuduhan keji tersebut.
Tapi Mbak Dita memang luar biasa.
Kecantikankan hatinya terpancar dari wajahnya yang teduh dan menenangkan. Tak
ada gurat kesedihan apalagi penyesalan berkepanjangan karena masalah ini.
Hingga suatu hari, saat aku
berkunjung ke rumah beliau siang itu. Ku dengar perdebatan hebat antara Mbak
Dita dengan kakak pertamanya. Aku yang saat itu ada di kamar Mbak Dita, bisa
mendengar dengan jelas walau pertengkaran itu terjadi di ruang tengah.
“Sampai kapan kamu akan bertahan
dalam kesendirianmu? Ingat, kamu tidak bisa terus tinggal di sini. Aku memiliki
keluarga sendiri yang ingin ku bangun dengan suamiku. “ begitu kalimat yang ku
dengar. Ya .. Rumah ini memang rumah kakak sulung Mbak Dita bersama suaminya.
Aku rasa wajar jika beliau berkata demikian, karena memang rumah ini tidak
begitu besar untuk menampung ia, suaminya, Mbak Dita dan kedua anaknya yang
bukan lagi balita.
“Segeralah menikah dan ikut dengan
suamimu. Apa kamu tidak malu dengan tetangga? Makanya, siapa suruh kamu memakai
pakaian serba lebar begitu?! Jadi tidak ada lelaki yang mau denganmu. Coba kamu
berpakaian seperti gadis zaman sekarang, pasti banyak yang akan menyukaimu.
Kamu kan cantik! Jadi jangan sok alim dan sok suci, lah! Dasar perawan tua!!!”
Ku dengar ada suara pecahan kaca.
Aku tidak tahu apa yang terjadi di luar sana. Aku terdiam. Suasana hening. Aku
mendekati pintu kamar Mbak Dita dan sedikit membukanya. Berharap aku bisa
melihat apa yang sedang terjadi. Ku lihat Mbak Dita mulai angkat bicara.
“Kak .. aku tidak takut menjadi
perawan tua. Toh aku juga sudah tidak perawan kan,kak?!”
Baru kali ini aku dengar suara Mbak
Dita lebih tinggi dari biasanya. Kalimat Mbak Dita itu pun seketika membuatku
badanku terasa lemas. Aku memegang erat ganggang pintu kamar Mbak Dita agar aku
tidak terjatuh. Pandanganku agak buram. Aku berusaha tetap kuat.
“Bukankah kakak sudah tahu bahwa aku
tidak perawan lagi?! Kakak lupa atau pura-pura lupa?! Kalau kakak lupa,
sekarang Dita ingatkan ! Dulu… saat Dita masih berusia sepuluh tahun, kakak
pulang dengan membawa pacar kakak. Entah kenapa, laki-laki bejat itu tiba-tiba
melampiaskan nafsunya ke Dita. Apa kakak lupa? Kakak meninggalkannya di rumah
untuk menemani Dita, sementara kakak pergi mengantar kak Dian ke tempat les
waktu itu. Tapi apa yang terjadi, kak?! Kakak mengantar seseorang untuk
menemaniku tapi justru yang terjadi adalah kecelakaan untukku! Apa kakak lupa
kesalahan kakak?!”
Samar ku lihat Mbak Dini yang
terdiam mendengar teriakan Mbak Dita.
“Seiring berjalannya waktu, Dita
mencoba memperbaiki diri. Dita tidak menyalahkan kakak seutuhnya. Karena Dita
sadar, Dita juga salah. Saat itu pakaian Dita memang tidak layak. Dita memakai pakaian
yang menampakkan aurat Dita. Mungkin itu yang memancingnya berlaku buruk ke
Dita. Karena itu sekarang Dita memlilih berpakaian seperti ini. Tertutup dan
rapi. Tidak pernah Dita mendapatkan perlakuan kurang ajar seperti dulu sejak
Dita berpakaian seperti ini kak. Dita hanya tidak mau kejadian dulu terulang
lagi! Dita hanya ingin menjaga diri dibalik perintah yang Allah tujukan untuk
para muslimah untuk menjaga auratnya ketika sudah baligh! Tidak kah kakak
mengerti? Dita hanya ingin menjalankan perintah Allah, menutup aurat! Dita
hanya ingin Allah sayang sama Dita dan Ridho dengan apa yang Dita lakukan.”
Aku masih di tempatku berdiri. Dada
ini terasa sesak mengetahui kenyataan yang tak pernah Mbak Dita ceritakan
padaku.
“Untungnya saat kejadian, Dita belum
memasuki masa pubertas. Jika sudah, mungkin setelah kejadian itu Dita akan
hamil, dan akibatnya akan lebih buruk lagi! Tidak kah kakak mengerti?! Selama
ini Dita bungkam. Tidak pernah memberi tahu ayah dan ibu dengan apa yang
terjadi hingga mereka pergi meninggalkan kita. Mereka tidak tahu apa yang
terjadi. Sudah cukup Dita menanggung beban penyesalan selama ini kak. Jangan
lagi bebani Dita dengan desakan kakak agar Dita segera menikah! Dita akan
menikah saat Allah sudah berkehendak. Apa sekarang kakak sudah lebih paham
posisiku dan perasaanku?”
Nada suara mbak Dita di kalimat
terakhir mulai merendah.
“Jika yang kakak risaukan adalah
kehadiranku di rumah ini karena malu dengan tetangga atau apapun itu alasannya,
besok Dita akan mencari kontrakan di dekat kantor atau SMA Dita yang dulu. Jadi
Dita tidak perlu lagi mendengar cacian kakak yang menyakitkan itu!”
Aku masih berdiri di balik pintu
kamar Mbak Dita, saat ku lihat Mbak Dita pergi meninggalkan Mbak Dini yang
terpaku. Dadaku terasa sesak dan mata ini terasa sangat panas. Aku lunglai dan
rasanya akan tumbang. Tapi aku berusaha kuat, berjalan menuju tempat tidur Mbak Dita dan duduk di atasnya.
“Adek, maaf ya lama.” Kata mbak Dita
mengagetkanku. Aku mengangkat wajahku, menatap Mbak Dita. Aku sudah tidak kuat
lagi menahan sakit ini.
“Mbak .. “ rintihku.
“Tari kenapa dek?” Tanya Mbak Dita shock saat melihatku berurai air mata.
Mbak Dita lalu mengambil posisi duduk di sebelahku dan langsung menggenggam
kedua tanganku. Dingin. Ku tatap lekat wajahnya yang basah. Karena air wudhu ku
rasa.
“Mbak jahat! Kenapa tidak pernah
cerita? Selama ini Tari selalu cerita ke Mbak. Apapun. Tapi ternyata Mbak
menyimpan rahasia sebesar ini! Mbak Dita curang!” kataku kesal.
“Tenanglah, dek ..” kata Mbak Dita
sambil mengelus-ngelus punggungku.
“Bagaimana Tari bisa tenang setelah Tari
tau selama ini mbak menyimpan beban yang berat.” Kataku dalam dekapannya. Tapi
kemudian Mbak Dita melepaskan pelukannya dan berganti memegang kedua pundakku.
“Adek, Mbak tidak cerita karena mbak
rasa ini bukan masalah besar. Mbak tidak punya alasan untuk menceritakan ini ke
adek. Bukan karena mbak tidak mempercayai adek untuk mengetahui hal ini, tapi
karena ini bukan masalah besar. Jadi jangan menangis lagi. Mbak saja tidak
nangis, kok adek malah cengeng begini.. “ goda Mbak Dita. Ya .. lagi .. Ia
berhasil meyakinkanku dengan kalimatnya.
***
“Setegar itu, dia Tar?” Tanya Mas
Aris sesaat setelah aku bercerita siapa Mbak Dita. Mas Aris ini adalah anaknya
pamanku, adiknya ayah. Sudah tiga hari Mas Aris tinggal di rumahku, karena Mas
Aris pindah dinas ke kota ini. Mas aris belum menemukan rumah kontrakan yang
cocok, jadi tinggal bersama kami dulu.
“Iya, Mas. Beliau memang luar biasa.
Tari kagum dengan beliau.” Jawabku sambil terus mengunyah biscuit yang
dibelikan Mas Aris ketika ia keluar rumah tadi sore.
“Jadi sekarang statusnya masih …” tanya
Mas Aris lagi.
“Masih, Mas. Kenapa Mas? Mas mau
ta’aruf sama beliau?” jawabku penuh harap.
“Kamu ini ..” jawabnya santai.
“Ya .. Kan ngga ada salahnya ..”
jawabku sambil nyengir. Menggoda Masku ini.
***
Siang ini aku ada janji dengan Mbak
Dita untuk pergi ke toko buku. Karena motorku sedang dibawa ayah ke bengkel
untuk diservice, jadi aku ikut nebeng dengan Mbak Dita. Kami janjian
ketemu di rumahku.
Aku baru menggunakan jilbab saatku
dengar suara Mbak Dita memberi salam. Ada suara pintu dibuka, mungkin ibu,
pikirku. Aku bergegas menemui Mbak Dita setelah aku selesai dandan.
“Assalamu’alaikum, Mbak..” sapaku
sambil menyalami dan bercipika-cipiki dengan Mbak Dita.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah.. “
jawab Mbak Dita lembut.
“Sudah siap?” Tanyanya kemudian. Aku
mengangguk.
Setelah berpamitan dengan ibuku yang
saat itu sedang asyik di dapur, kami kemudian pergi menuju toko langganan kami.
***
“Kamu tau, Dek.. saat aku membuka
pintu waktu itu dan menyadari bahwa itu kamu, perasaanku jadi campur aduk. Aku
tidak menyangka jika aku akan bertemu denganmu di rumah Tari, adik
sepupuku. Meskipun awalnya aku sanksi. Aku
juga tidak tahu bahwa selama ini yang Tari ceritakan ke aku itu adalah kamu,
karena yang aku tahu kamu dulu disapa Dila, bukan Dita. aku baru tahu nama
lengkapmu dari proposal, Ardilla Dita.”
Ku lihat Mas Aris tengah mengajak ngobrol Mbak Dita di tengah kesibukan
mereka menyalami tamu undangan. Mereka terlihat sangat serasi. Dekorasi ruangan
yang serba biru ini kontras dengan pakaian yang mereka Senakan, juga dengan
gamis biru yang saat ini aku pakai, pemberian Mbak Dita. Saat aku menerima
hadiah ini dari Mbak Dita, aku berniat bahwa hanya akan mamakainya pertama kali
di hari pernikahan Mbakku tercinta ini. Alhamdulillah .. Niatan ku terealisasi.
“Oh, ya? Aku justru tidak sadar jika
yang membuka pintu itu kamu, kakak kelasku dulu. Karena kamu sudah sangat jauh
berubah. Terakhir kali aku melihatmu adalah saat hari perpisahan angkatanmu
saat di SMA dulu. waktu itu kamu sedang tampil dengan anggota bandmu. Benar
tidak?”
“Iya.. saat itu aku kan belum
hijrah. Waktu itu kamu masih kelas satu. Aku masih ingat, dulu aku sering
memberhatikanmu dari kejauhan. Jujur saja, sejak dulu aku sudah mengagumimu.
Aku adalah pengagum rahasiamu. Walau begitu, tak pernah tersersit dalam hatiku
akan meminangmu, mengingat bahwa kau sangat sholehah. Berbeda denganku. Tidak
cocok rasanya..”
Wajah Mas Aris sendu. Ku lihat Mbak
Dita memegang erat tangan Mas Aris. Melontarkan senyuman manis ke pandangan
suaminya kini.
“Oh iya, dulu aku pernah meletakkan setangkai
bunga mawar dengan kartu bertuliskan tetaplah
menjadi wanita sholehah, jadi
perhiasan indah dunia, di mejamu. Apa kamu sudah menerimanya?”
Mbak Dita terdiam. Kulihat matanya
berkaca-kaca. Benar saja, Mbak Dita mengusap matanya yang berair dengan tisu
yang terletak di samping pelaminannya. Ia tidak henti memuji kebesaran
Rabb-Nya.
“Subhanallah.. ternyata itu kamu,
Mas? Kamu tau, sejak saat aku terima bunga dan kartu ucapan itu, aku selalu
berdoa semoga orang yang memberikannya itu adalah seorang lelaki yang kelak
bisa menjadi pendampingku. Hampir di setiap sujud malamku aku berdoa semoga
Allah memberi hidayah kepadanya. Agar ia bisa menjadi kekasih Allah, mencintai
Rasul-Nya dan Jihad dijalan-Nya dan kelak ia bisa menjadi pemimpin yang baik
untukku dan anak-anakku. Subhanallah.. Yang Maha Berkehendak. “
Kali ini ku lihat rona wajah Mas
Aris yang terharu. Mereka saling bertatapan, takjub atas scenario Allah. Aku
tidak sabar mendengar kisah mereka. Mas aris berjanji akan menceritakan
semuanya setelah resepsi pernikahan mereka ini selesai di gelar. Hari itu aku
benar-benar bahagia. Semuanya bermula saat Mas Aris bilang bahwa ia akan
walimahan. Kebahagiaanku lebih membuncah lagi saat ku tahu wanita yang akan
dinikahi Masku ini adalah Mbak Dita.
“Aku sudah lima kali menyerahkan
proposal waliman ke Murobbiku, dan lima kali pula prosesnya berjalan. Tapi
kelima-limanya gagal di tengah jalan. Sampai akhirnya MR-ku bilang bahwa ada
akhwat yang mau melanjutkan prosesnya denganku, hingga aku sadari akhwat itu
adalah kamu. Aku benar-benar terkejut bahwa kita dipertemukan saat aku mulai
putus asa mencari seseorang yang bersedia menjadi ustadzah di rumahku kelak.
Subhanallah.. “
Mbak Dita tersenyum, manis sekali. Ku
lihat mereka menghentikan obrolan karena ada tamu undangan yang ingin memberi
selamat.
“Bagimana ceritanya kamu bisa
hijrah, Mas?”
“Nah, kalau itu ceritanya panjang.
Nanti malam aku ceritakan, ya ..” jawab Mas Aris sambil menggoda Mbak Dita.
mereka tertawa kecil. Aku pun senyum-senyum sendiri melihat tingkah polah
mereka, seperti ABG yang sedang kasmaran.
Aku tidak henti mengucap syukur atas
anugrah yang Allah beri untukku. Ia sandingkan dua orang yang sangat ku sayang
dalam ikatan suci pernikahan. Barakallah Mbak Dita.. Barakallahu Mas Aris.. Dan untuk ke dua kakak
Mbak Dita.. Ku lihat mereka tengah sibuk menyambut tamu undangan. Wajah mereka
pun tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Ku harap mereka menyesal dengan apa
yang sering mereka lakukan terhadap Mbak Dita dan semoga saja Allah memberi
hidayah kepada mereka agar mereka berhijrah pula seperti Mbak Dita. Aamiin..
“Mas, bunganya masih ku simpan. Utuh .. setibanya di
rumah, bunga itu aku awetkan. Sekalian mempraktekkan ilmu yang ku dapat waktu
di sekolah dulu. bunganyaku beri bingkai bersama kartunya. Setiap kali Tari ke
kamarku, dia pasti selalu bertanya tentang bunga itu, siapa yang memberikan,
kapan dan sebagainya. Aku hanya tersenyum karena aku tidak tahu harus menjawab
apa. Setiap kali itu pula aku berdoa semoga aku bisa dipertemukan dengan orang
yang memberi bunga ini. Alhamdulillah.. Allah mengabulkan doaku.”
0 Response to "Mbak DITA"
Posting Komentar