My Mom is Amazing
Ya,
kurasakan keluarbiasaannya dalam tiap deru nafasku. Ketegaran yang ia hadirkan
membuatku merasa kerdil di dunia ini. Dengan kesabarannya, ia mampu melemahkan
egoku yang terkadang diluar batas kewajaran. Tapi malaikatku ini, selalu
menghadirkan senyum indah bahkan disaat hatinya benar-benar merasa perih.
Aku
akan bercerita tentang kesabarannya. Mendidikku dan ketiga abangku yang lebih
dulu merasakan hangat rahimnya. Akan ku ceritakan bagaimana lembut dan tulus
hatinya menerima sayatan zaman yang
sering kali tak berpihak padanya. Ia tetap tegak, meski pundaknya diberi beban
yang sangat berat oleh Rabb kami.
Aku,
bungsu dan anak gadis satu-satunya. Setiap hari menghabiskan waktu di luar
rumah, untuk kuliah atau sekedar mengurusi berbagai agenda-agenda organisasi
yang seringnya menghabiskan setengah hariku. Hingga terkadang aku tak punya
waktu untuk sekedar membantunya mencuci piring atau tugas rumah lainnya, yang
biasa dikerjaan oleh gadis seusiaku.
Tapi,
tak pernah sedikitpun ku dapati kemarahannya atas sikapku. Bahkan, ketika aku
meninggalkan kamarku dalam keadaan berantakan sekalipun, justru yang akan aku
dapati adalah kebalikannya. Lagi, ia tak pernah menunjukkan kekesalannya. Yang
ia katakan, ketika suatu hari aku berlutut di hadapnya untuk meminta maaf, “
Tugas Rani itu belajar. Jadi jangan fikirkan pekerjaan rumah. itu kerjaan mama.
Mama hanya ingin melihat kesuksesan rani. Cuma rani dan Bang Uut yang mama
punya.”
Ibuku
dianugrahi tiga anak lelaki dan diriku sendiri. Dua anak laki-lakinya, dimasa
lalu memberikan pilu yang teramat sangat. Bergelut dengan kelamnya narkotika
hingga memaksa keduanya menginap di hotel prodeo. Anak pertama, berulang kali.
Tapi hati ibu siapa yang mengerti? Ia lembut saat seharusnya ia bisa keras
seperti batu. Tak pernah ia memikirkan dirinya mendahului anak-anaknya.
Pernah
aku dapati ibuku menangis sendiri di ruang tamu. Terisak. Saat ku Tanya,
“Kenapa, Ma?” jawabnya, “ Mama ngga punya uang untuk abangmu. Kasihan dia, ngga
mungkin mama jenguk tapi ngga ada uang yang mama tinggal. Kalau ada yang mau
dia beli di dalam ntu, tapi uangnya ngga ada, gimana? “
Jujur
aku kesal. Ibuku masih saja memikirkan abangku itu ketika ia sudah berulang
kali mendapat cemoohan dari tetangga karena ulahnya. Tapi itu lah ibuku. Hatinya
lembut bagai salju. Meskipun aku belum pernah benar-benar merasakan menyentuh
salju. Tapi ya itu.. kelembutannya tidak dapat diukur dengan logika.
Beberapa
waktu lalu, aku menjadi ketua pelaksana dalam kegiatan ‘mother’s day’ di
kampus. Bentuk acaranya talk show yang menghadirkan ustadz dan ustadzah. Selain
sebagaik ketua pelaksana, aku di amanatkan untuk menjadi moderator dalam
talkshow tersebut. tau apa yang aku rasakan ketika memoderatorinya kala itu?
MALU!!!
Ya..
aku sangat sangat dan sangat malu dengan diriku sendiri. Sebagai anak
perempuan, aku terbilang manja. Bukan manja, tapi terlalu di manja. Tersindir kala
sang ustadzah bertanya, “Apa masih ada yang di sini, yang jilbabnya masih di
cucikan oleh ibunya?”
Jleb!
Aku menelan ludah. Duduk di
samping ustadzah yang menanyakan hal itu, membuat aku hanya mampu tersenyum. Kecut!
Setibanya
di rumah, aku meminta izin kepada kedua orangtuaku untuk ngekost. Ingin belajar
mandiri, alibiku. Ayahku setuju setuju saja. Tapi mama?
Sesaat
sebelum mobil yang akan membawa barang-barangku datang, ketegaran ibuku runtuh.
Ia menangis. Tak rela melepasku. Tapi aku masih ‘kekeh’ dengan keputusanku. Air
mataku pun tak mampu dibendung. Tapi aku berusaha kuat. Harus ‘tega’ kali ini,
pikirku.
Tapi,
Cuma seminggu aku bertahan untuk ngekost. Akhirnya aku kembali pulang ke rumah.
Bukan karna aku tak betah di kediaman yang baru. Bukan karna ga mampu ngurus
diri sendiri di rumah baru. Hanya saja..
Ikatan
bathin antara ibu dan anak itu begitu kuat. Aku kembali ke rumah. Dengan satu
syarat yang kuberikan ke ibuku. “Tapi mama ngga boleh lagi nyuciin sama
nyetrikaain baju rani ya..” ibuku mengangguk tanda setuju walau terlihat agak
berat.
Aku
mulai membiasakan untuk sholat berjamaah dengan mama. Subuh terutama, karna
papa sedang membiasakan untuk sholat subuh di mesjid. Hari kedua pasca
kepulanganku, usai sholat shubuh, mama kudapati menangis.
Setelah
kutanyakan kenapa mama menangis, mama jawab, “Setiap sholat waktu rani ngekost,
mama selalu nangis. Berdoa minta rani dipulangkan.”
Aaaa….
Hatiku bergemuruh lagi. Sebegitu beratnya mama dengan kepergianku.
“Selagi
mama masih ada, jangan tinggalkan mama. Nanti kalau mama ngga ada, kan bisa
ranibelajar mandiri.”
Lagi..
Gerimis
di hatiku tak mampu ku bendung. Air mata yang udah ngantri di mata ini, ku
tahan sebisanya. Berusaha tegar. Ngga mau buat mama tambah nangis.
Itu
sepenggal kisah tentang ibuku. Ada lagi yang lebih bikin hati ini haru. Waktu mama
mendampingi anak dari adik iparnya, melahirkan. Ya, kakak sepupuku. Mama
nangis.
“Ngga
terbayang dengan mama gimana kalau rani nanti yang melahirkan. Ntah ketemu lagi
dengan mama ntah ngga.”
Aku
Cuma bisa diam kalau mama udah ngeluarin kalimat-kalimat seperti itu. Pernah juga
dulu waktu SMP saat mama ngantarin aku ke sekolah. Kami kecelakaan. Darah berceceran
dimana mana. Mama sibuk melihat ke seluruh tubuhku, khawatir kalau kalau aku terluka.
Saking takutnya dengan kondisiku, mama ngga sadar kalau telapak kaki kananya
robek. Darah yang berceceran itu ya dari luka mama itu. Tapi mama ngga ngerasa
sakit karna sibuk dengan diriku yang padahal ngga ada luka sama sekali.
Mama
juga pernah ikut-ikutan sakit, karna melihat kondisiku yang terbaring di rumah
sakit karna infeksi lambung. Tapi untungnya mama ngga ikut-ikutan di rawat
inap.
Kasih
sayang ibu ngga pernah terbatas. Walau gimana pun anaknya bandel, atau pernah
nyakitin hatinya, tapi tetap saja. Pintu maaf dan kasih sayang itu terbuka
lebar.
Setelah
kalimat, innasholati wanusuki wamahyaya
wamamati lillahirobbil’alamin..
Aku
akan bilang, hidup dan dan matiku adalah untuk mama..
0 Response to "My Mom is Amazing "
Posting Komentar