Ketika saudari rindu menikah..

“ Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? ” (Qs. Al-Ankabut : 2)
Ujian.. merupakan sarana yang diberikan oleh Allah untuk menge”test” sejauh apa keimanan kita kepada-Nya. Ujian.. tak selamanya berbentuk kesedihan, kesempitan, dan keperihan. Terkadang, ia berwujud pada kebahagian, kelapangan dan kegembiraan.
Pernikahan saya yang sudah berlalu beberapa waktu, “katanya” menjadi trandding topic dilingkungan sekitar saya. Terutama, dikalangan teman-teman perempuan. Entah itu adik-adik, teman sebaya atau justru yang lebih senior dari saya. Beberapa waktu sebelum dan sesudah pernikahan saya, sedikit banyak saya mendengar keriuhan yang membuat saya tergerak untuk menuliskan tulisan ini.

Kenapa menjadi tranding topic? Saya rasa, alasannya karena usia saya masih cukup muda, belum genap 22 tahun ketika melangsungkan pernikahan, masih kuliah dan belum punya penghasilan sendiri. Ya.. bisa dibilang untuk taraf sebagai mahasiswi, saya masih “kecil”.
Saya mengerti, bahwa kesendirian bagi seorang perempuan yang sudah merindukan pernikahan merupakan satu kondisi yang terkadang membuat hati merasa harap-harap cemas. Belum lagi jika usia sudah memasuki masa “harusnya sudah menikah”. Menjadi sebuah kegalauan barangkali, ketika hati rindu menikah, tapi jodoh tak kunjung datang untuk membuat wajah ini semakin cerah. Itu fitrah, saya rasa.
Apalagi bagi seorang akhwat, yang sejak mengerti hakikat hubungan dengan lawan jenis, barangkali pernah terusik hatinya dan bertanya-tanya, “siapa jodoh saya nantinya?” atau.. “adakah ikhwan untukku?”, karna kabarnya jumlah akhwat itu jaauuuh lebih banyak dari pada jumlah ikhwan. Wallahu’alam.
Hanya saja.. saya tak ingin kegalauan itu akhirnya menyergap hati-hati saudari saya. Hingga akhirnya, yang ada hanya eufhoria semata. Berlomba-lomba menyerahkan “proposal pernikahan” kepada murrobbiah. Hingga sang guru, bingung sendiri dibuatnya, karena ditagih mutarobbinya “mana ikhwan untuk saya?”.
Saudariku..
Menjadi yang termasuk lebih dulu menjalani masa ta’aruf, membuat saya mengambil kesimpulan bahwa perkara jodoh, bukanlah perkara layak atau tidak layakknya kita diberi jodoh oleh Allah. Untuk pertama kalinya saya tidak setuju dengan kalimat salah seorang penulis yang tulisannya sering menjadi motivasi untuk saya. Dalam akun facebooknya, beliau mengatakn bahwa “bukan jodoh kita yang tidak ada, tapi kita yang belum layak diberikan jodoh.”
Berbicara layak tidak layak, kira-kira apa indikatornya? Saya pun tidak tahu. Lalu, jika berpedoman dengan statement itu, apa berarti saya sudah layak? Lagi-lagi, indikatornya apa? Sulit dirumuskan, bukan?
Menurut saya, ini semata-mata hanyalah ujian dari Allah..
Mari sejenak kita buka QS. Al-Baqarah ayat 286 yang artinya “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Kenapa Allah mentakdirkan saya untuk lebih dulu mengecap pernikahan dibanding saudari saya yang lainnya? Bahkan dibanding dengan kakak-kakak saya yang saya rasa sudah lebih siap dari segi apapun : ruhiyah, fikriyah, financial dan sebagainya.
Kalau jawaban dari versi saya ialah, “karna bisa jadi Allah menilai bahwa saya tidak akan sanggup melewati ujian kesendirian itu. Hingga akhirnya Allah menguji dengan cara lain, yaitu Pernikahan itu sendiri.”
Wallahu’alam..
Singkatnya, kesendirian yang saat ini dirasakan oleh saudari-saudari lainnya, harap-harap cemas menanti jodoh yang dijanjikan oleh Allah, semata-mata merupakan ujian dari Allah, untuk menge”test” sejauh apa keimanan kita kepada janji-Nya.
“ Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? ” (Qs. Al-Ankabut : 2)
Allah hanya sedang ingin menguji, sejauh apa keimanan kita kepada-Nya terkait janji-Nya bahwa setiap makhluk Allah ciptakan berpasangan. Allah hendak menguji, adakah kita berbaik sangka pada-Nya.
Mari kita lihat QS. Al-Baqarah ayat 216, yang artinya “ Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. “
Bisa jadi, Allah belum mempertemukan kita dengan jodoh kita, karena Allah menilai bahwa saat ini hal itu bukanlah hal yang terbaik untuk kita. Yakinlah, semua akan indah pada waktunya. Jadi, bagi yang belum bertemu dengan sang pujaan hati, bersabarlah dalam keanggunan ikhtiar. Tak perlu mengumbar kerisauan hati, apalagi mempublisnya di jejaring social, yang kita tidak tahu dengan cara pandang seperti apa mereka yang membaca postingan kita, memaknai arti dari apa yang kita sampaikan.
Berkeluh-kesahlah hanya kepada Allah Swt. Berbaik sangka dengan apa yang menjadi kehendak-Nya. Jika hati tlah benar-benar rindu menikah, ikhtiarlah dengan cara yang ahsan. Bedakan antara “butuh menikah” dengan “ingin menikah”.
Kata butuh mempunyai makna yang lebih kuat. Sedangkan kata ingin, hanya sebatas perasaan yang terbawa-bawa emosi. Kita sering dengar istilah dalam mengatur keuangan, belilah barang yang memang dibutuhkan, bukan sebatas keinginan. Karena keinginan manusia itu tak terbatas. Karenanya, bedakan antara “butuh menikah” dan “ingin menikah”.
Apa yang saya tuliskan ini, tak bermaksud hendak menggurui. Saya hanya tak ingin, saudari-saudari saya masuk pada euphoria “pernikahan”, yang akhirnya membuat mereka lupa, bahwa pernikahan bukan perkara saat ini, tapi hidup dan mati.



0 Response to "Ketika saudari rindu menikah.."

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel