Pisang Goreng & Lapis Legit

    Siapa yang tidak kenal dengan kuliner sederhana yang bernama pisang goreng? Selain cara membuatnya yang mudah, panganan ini juga dikenal sangat murah meriah. Berbahan dasar pisang yang dibaluri oleh adonan tepung, kemudian di goreng di dalam penggorengan hingga matang, dan akhirnya jadilah makanan ringan yang digemari siapa saja ; pisang goreng. Mulai dari anak-anak hingga orang tua, laki-laki maupun perempuan, yang berkendara sepeda atau yang bermobil mewah sekalipun, semuanya pasti menggemari makanan ini. Selain harganya yang terjangkau, makanan ini pun tak sulit di dapatkan. Akan terasa lebih nikmat jika dimakan dalam keadaan masih panas. Sudah terbayang ya nikmatnya? 

    Ada lagi cemilan yang bernama lapis legit. Agak berbeda dengan si pisang goreng. Makanan ini terbilang cukup mahal. Tidak semua kalangan bisa menikmatinya, kecuali jika di jual dalam bentuk potongan. Tapi tetap saja, harganya lebih mahal dari pisang goreng yang bisa di dapat dengan merogoh  kocek Rp. 1000 perbuahnya. Cara membuatnya pun tidak semudah membuat pisang goreng. Butuh kesabaran dan ketelatenan khusus. Makanan ini pun tidak di jual disembarang tempat. Minimal, ia di jual di dalam supermarket, dengan di bungkus dengan kotak yang rapi, menghindari kontaminasi kotoran yang tersebar di udara. Berbeda dengan pisang goreng yang apabila dibeli, biasanya dipegang-pegang terlebih dahulu oleh si calon pembelinya. Sedangkan lapis legit, pembeli hanya dapat melihat tanpa menyentuh langsung karena lapis legit tersebut terbungkus dengan rapi.
    Itulah perbedaan yang mencolok antara pisang goreng dan lapis legit. Cerita tentang dua makanan ini saya dapatkan dari seorang Coach Trainer, yang mengisi kelas “To Be a Trainer” yang saya ikuti. Awalnya, saya bingung, mau di bawa kemana arah pembicaraan ini. Ternyata, sang Coach ingin memberikan motivasi kepada kami para peserta yang hadir, bahwa ada perbedaan yang mencolok antara pisang goreng dan lapis legit. Jika kedua makanan tersebut dianalogikan kepada kita (manusia), kira-kira, kita ingin menjadi yang mana?
    Sembari mendengarkan, pikiran saya berkelana sendiri. Jika sang Coach menganalogikan ke dua makanan tersebut kepada manusia secara keseluruhan, maka pikiran saya hendak menganalogikan keduanya kepada pribadi seorang perempuan. Kira-kira, jika sebagai seorang perempuan, kita ingin menjadi yang mana?
    Apakah kita ingin menjadi perempuan yang diibaratkan seperti pisang goreng? Yang mudah di dapat, mudah di buat, murah dibeli, dan boleh di pegang-pegang dulu sebelum di beli, atau…. Kita ingin menjadi perempuan yang diibaratkan seperti lapis legit? Yang tak mudah di dapat, tak mudah di buat, tak murah di beli, dan terbungkus rapi dalam wadah sehingga tak gampang dicicipi, walau pun hanya lewat aroma.
    Maaf… saya tak hendak membanding-bandingkan sesosok makhluk yang bernama perempuan dengan nama-nama makanan. Namun, lumrah rasanya jika masyarakat kita sering kali menganalogikan manusia dengan benda-benda tertentu. Selagi relevan dan memang bisa diambil hikmahnya, kenapa tidak?
    Adalagi yang menanalogikan perempuan dengan pakaian. Beda pakaian yang dijual obral di pasaran dan yang di jual di butik yang mahal. Apapun itu bentuk analoginya, yang ingin saya tekankan di sini bukanlah masalah “dengan apa” dianalogikannya sosok perempuan itu. Tapi “untuk apa” analogi itu dibuat. Analogi itu dibuat agar kita bisa berfikir lebih kreatif dan dapat mengambil hikmah dari apa-apa yang ada di sekitar kita.
    Dalam hal ini, ingin saya pesankan kepada saya sendiri dan kepada seluruh perempuan yang berkesempatan membaca tulisan ini, bagaimana pun kondisi kita, berusahalah untuk menjadi perempuan ibaratkan lapis legit. Tidak sembarang orang mampu mencicipi nikmat dari kue yang berlapis tersebut. Jangan hanya berbangga menjadi wanita ibarat pisnag goreng, yang dapat dinikmati bahkan oleh sembarang diri.
Wallahu’alam

   

0 Response to "Pisang Goreng & Lapis Legit"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel