A R D I



            “Jadi kapan, May?” tanya sahabatku Cici ketika kami pergi makan siang bersama, siang itu.
            “Aku ingin secepatnya. Hanya saja belum ada yang datang untuk memintaku menjadi istrinya. Aku bisa apa?” jawabku sedikit pasrah.
            “Ikhtiar dong .. “ kali ini Cici yang menasehatiku.
            “Ikhtiar bagaimana yang kamu maksud?”
            “Yah .. kenalan kek sama siapa gitu, pedekate, pacaran nah trus nikah.” Jawabnya enteng.
            “Astagfirullah .. harus berapa kali aku bilang kalau pacaran itu hukumnya dilarang dalam agama kita.” Jawabku agak malas karena memang sudah sering kali aku mengatakan hal ini ke sahabatku yang satu ini.
            “Jadi sampai kapan kamu harus menunggu? Apa sampai kamu ubanan baru kamu akan sadar jika penantianmu ini sia-sia?”
            “Tidak akan ada yang sia-sia selama aku menunggu hanya karena Allah Swt. Aku seratus persen percaya bahwa Allah sudah menyiapkan satu pemuda untukku yang akan hadir pada waktunya. Pada saat yang indah.”

            “Yah .. yah yah. Atau .. saat ini kamu memang sedang menunggu seseorang. “ tanyanya menelisik.
            “Akukan memang sedang dalam masa penantian, Ci.” Jawabku geram.
            “Iya .. tapi bukan itu maksudku. Maksudnya jangan-jangan kamu menunggu lamaran dari seseorang yang memang sudah dari dulu kamu tunggu. “
            “Nah lo .. siapa? “
            “Ardi, mungkin!”
            “Astagfirullah .. kenapa kamu berpikiran sampai sejauh itu?”
            “Yah .. aku tiba-tiba ingat saja. Bukankan dulu dia pernah bilang bahwa suatu hari ia akan datang untuk melamarmu?  Yah mungkin saja kamu memang menunggunya.” Jelas Cici
            “Ci, kamu seperti tidak tahu laki-laki saja. Itu hanya kalimat gombal .. “
            “Iya, tapi bisa saja apa yang dia bilang ke kamu itu adalah keseriusan. “
            “Aku berani jamin itu tidak mungkin.”
            “Yah .. apa sih yang tidak mungkin di dunia ini, May? Dia itu kan sahabatmu dan merupakan cinta pertamamu kan? Dulu kamu sangat menyukainya dan berharap ingin menjadi kekasihnya. Iya kan?”
            “Iya .. aku akui bahwa dia adalah cinta pertamaku. Aku dulu sangat menyukainya, sampai -sampai aku menolak Riko sang juara umum di SMP dulu. Tapi itu sudah sangat lama, Ci. Kita masih SMP dan masih kategori anak-anak. Apa yang aku rasakan itu hanya cinta yah .. cinta monyet istilahnya. Jadi tidak akan berpengaruh apa –apa di usiaku saat ini.”
            “Tapi sampai sekarang kalian masih tetap berkomunikasi kan?”
            “sudah tidak ada lagi. Hampir tiga tahun belakangan ini dia sama sekali tidak pernah menghubungiku. Beberapa kali aku menyempatkan diri menelfonya karena memang dia sudah lama tidak menghubungiku, tapi nomornya sudah tidak aktif. Dia hilang seperti di telan bumi. “
            “Hmpp .. ya sudah lah May. Tidak ada yang perlu disesali.” Kata Cici sambil memegang bahu kiriku dengan tangan kirinya dan berekspresi seolah ia sedang menguatkanku.
            “Menyesali apa? Aku tidak menyesali apa-apa.” Jawabku heran.
            “Hubunganmu dengan Ardi. Jika ia jodohmu ia akan datang.”
            “Cici .. “ kataku menahan kesal. Dia tertawa cekikikan.
***
            Jujur saja. Percakapan ku dengan Cici tempo hari sedikit mengusikku. Entah mengapa tiba-tiba saja aku teringat akan Ardi, sahabatku sejak SMP dulu. Memang, hubunganku dengan Ardi tidak murni karena aku menganggapnya hanya sebagai teman baik. Tapi ada rasa yang  lebih special di hati ini.
            Sejak awal aku memang menyukainya. Pertama kali kami bertemu adalah ketika di kelas satu SMP dulu. Kebetulan aku cici dan Ardi memang sekelas. Yah .. aku juga tidak tahu kenapa aku bisa menyukainya. Rasanya hanya .. aku suka dia, itu saja. Tidak ada embel-embel di balik itu semua.
            Perasaanku ini hanya aku ceritakan ke Cici. Sejak saat itu ia berusaha mendekatkan aku dengan Ardi. Aku akui Cici memang mak comblang yang TOP, karena melalui jasanya aku dan Ardi bisa berteman baik. Pembicaraan kami seputar musik, olahraga, dan yah .. topik apa yang memang sedang hangat dibicarakan saat itu.
            Jadilah, aku dan Ardi menjadi dekat dan bisa di bilang berteman baik. Dia selalu bercerita padaku tentang keluarganya, teman-temannya dan bahkan perasaan sukanya dengan salah seorang teman kami waktu itu. Tentu saja aku merasakan kekecewaan. Tapi ya .. aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mencurahkan isi hatiku ke Cici. Setiap kali aku menangis karena Ardi, Cici selalu mengancam bahwa ia akan memberi tahu perasaanku yang sebenarnya ke Ardi. Tapi aku selalu melarangnya, karena aku tidak ingin hubunganku dengan Ardi menjadi rusak.
            Beruntung, jika Ardi merasakan hal yang sama denganku. Tapi jika tidak? Semua hanya akan membuat suasana menjadi semakin buruk. Aku tidak ingin itu terjadi. Aku hanya ingin Ardi tahu, bahwa aku ini sahabatnya, bukan seorang gadis yang menyukainya.
            Hingga tiba saat kami harus melanjutkan sekolah ke SMA. Aku dan Cici masih satu sekolah. Sedangkan Ardi lanjut ke sekolah yang berbeda. Tapi itu tidak memutuskan hubunganku dengan Ardi. Kami masih sering berkomunikasi. Memang tidak terlalu sering, tapi cukup untuk tetap menjaga hubungan baik.
            Hingga suatu malam, Ardi menelfonku. Awalnya kami ngobrol seperti biasanya. Tapi, pembicaraan rasanya mulai serius. Ardi mengutarakan isi hatinya padaku.
            “May .. aku sayang kamu. Rasanya, sudah terlalu lama aku diam. Mungkin ini saatnya aku untuk bilang perasaan aku ke kamu. Aku ingin menjadi pacarmu. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa menjagamu. May .. apa kamu mau jadi pacarku?”
            Saat itu, aku benar-benar tidak bisa mengatakan apa yang aku rasakan. Jujur aku senang. Hanya saja ada yang lain di hati ini. perasaan takut, cemas , akan sesuatu yang rasanya aku sendiri pun tidak mengerti. Tapi .. dari ujung telfon sana Ardi memanggilku dan membuyarkan lamunanku.
            “May .. kamu masih di sana? “
            “Oh  .. iya, Di. Aku masih di sini.” Jawabku gugub.
            “Jadi bagaimana, May?” tanyanya lagi.
            “Di, jujur aku kaget. Kamu tiba-tiba menanyakan hal yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku tidak tahu ini serius atau hanya leluconmu seperti biasa?”
            “Ya ampun, May .. aku sudah mempersiapkan mentalku untuk ini. dan kamu malah mempertanyakan keseriusanku?” jawabnya dengan nada meyakinkan.
            “Maaf .. tapi aku hanya ingin memastikan. Tidak ada salahnya kan? Aku hanya kaget, itu saja. “
            “Iya .. oke. Jadi .. jawabnnya?”
            “Aku butuh waktu untuk memikirkannya. Bisa menunggu tiga hari lagi untuk jawabanku?”
            “Hmpp. Baiklah .. tiga hari lagi aku akan tagih jawabmu. Dan aku harap jawabannya iya. “
            Percakapan berakhir di sana. Tapi kebimbanganku semakin menanjak naik. Seperti biasa, aku bercerita kepada Cici atas apa yang terjadi, ketika aku berkunjung ke rumahnya. Cici histeris mendengar ceritaku. Tapi aku hanya diam. Ada gejolak di hati ini yang membuatku tidak bisa memilih mana yang harus aku pilih.
            “Jadi apa masalahnya?” tanya Cici meminta penjelasan dariku.
            “Aku juga tidak tahu. Hanya saja, rasanya aku takut.”
            “Apa yang kamu takutkan?”
            “Jilbab ini..”
            “kenapa dengan jilbabmu?”   
            “apakah pantas seorang gadis berjilbab, berpacaran?”
            “Ya ampun, May .. kenapa mesti kamu fikirin sih? Banyak kali May cewek berjilbab yang berpacaran. Sangat banyak malahan. Jadi tidak ada yang perlu kamu risaukan.”
            “Iya memang.. tapi .. kamu tahukan? Ketika aku dan Ardi statusnya hanya sebagai teman dekat, banyak teman-teman kita bahkan adik kelas kita dulu di SMP mengira aku dan Ardi itu statusnya pacaran. Nah apalagi jika kami memang statusnya berpacaran? Bisa .. ah aku tidak berani memikirkannya.” Kataku menjelaskan.
            “Kalian kan bisa membuat suatu komitmen. Bahwa hubungan kalian adalah pacaran yang sehat. Tidak seperti kebanyakan orang berpacaran saat ini.”
            Yah .. apa yang dikatakan oleh Cici sedikit membuatku lebih tenang dan tahu apa yang harus aku pilih. Hingga tiba saat aku harus menepati janjiku ke Ardi. Aku menjawab .. Ya .. aku mau menjadi pacarnya. Jadilah, malam itu kami tetapkan sebagai hari jadian kami dan hari bergantinya status menjadi sahabat ke pacar.
            Tapi, entah kenapa, keesokan harinya, seusai sholat subuh. Aku merasakan dingin yang teramat sangat. Aku tidak tahu kenapa. Rasanya hanya ada yang lain di hati ini. aku memikirkan jawabanku atas pertanyaan Ardi malam tadi. Aku mulai merasakan kecemasan itu lagi. Entahlah .. aku tidak tahu pasti.
            Sudah tiga hari aku dan Ardi berada dalam status berpacaran. Selama itu pula perasaan takut ini menghantuiku. Hingga siang itu seusai sholat zuhur, aku mendekati seorang kakak kelas. Namanya Kak Dewi. Kakak kelas yang sangat ramah, cantik dan anggun dengan jilbab panjangnya. Ia adalah ketua keputrian Ekskul Rohis di sekolah ini. aku menceritakan semua kegundahanku padanya. Tentang apa yang terjadi antara aku dan Ardi.
            “Dik, islam tidak mengenal pacaran kecuali setelah pernikahan. Perasaan takut yang adik rasakan mungkin saja pertanda dari Allah, bahwa Ia tidak menyukai apa yang adik lakukan. Seharusnya, adik mengikuti apa yang hati adik rasakan. Memang saat ini banyak gadis berjilbab, yang berpacaran. Adik tahu itu salah,kan? Lalu apakah adik mau menjadi bagian dari mereka? Yakinlah, Allah sudah menyiapkan seseorang untuk menjadi jodoh kita. Ia akan datang diwaktu yang tepat dan saat itu akan indah pada waktunya. Ingat firman Allah dalam Qs. An Nur ayat 26, .. dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).. Kakak yakin, adik ingin suatu saat nanti mendapatkan laki-laki yang baik, kan?”
            Aku mengangguk.
            “Nah .. maka yang harus kita lakukan adalah memperbaiki diri kita terlebih dahulu. Tempo hari adik bercerita bahwa dulunya adik tidak berjilbab. Baru saat SMA ini rasanya adik tergerak untuk berjilbab. Itu sudah merupakan suatu kebaikan. Tapi, tidak akan semudah itu kita bertahan dengan apa yang kita yakini, pasti akan ada rintangan dan godaan yang akan menghalangi niat baik kita itu. Apalagi kita sebagai manusia mempunyai musuh yang sangat nyata, yaitu syetan. Ia tidak akan tinggal diam dengan perubahan ke arah kebaikan yang adik lakukan sekarang. Apalagi dengan masalah yang adik rasakan saat ini. itu merupakan jalannya untuk menggoyahkan keimanan adik. Nah .. yang sudah baik apa mau dinodai dengan suatu keburukan? Tidak kan? “
            Aku diam. Kak Dewi melanjutkan nasehatnya yang memang sedang aku butuhkan.
            “Nah .. kakak sudah menjelaskan sedikit mengenai yang kakak tahu tentang hal ini. kakak yakin, adik sudah cukup paham dan tahu mana yang harus adik pilih. Tetap melanjutkan hubungan adik dengannya atau menyudahinya sesegera mungkin selagi Allah masih mau memberi adik petunjuk menuju  kebaikan. Mintalah fatwa pada hatimu dengan penuh kejujuran. “
            “Maksudnya, kak?” tanyaku karena aku kurang mengerti dengan kalimat terakhir kak Dewi barusan.
            “Mintalah fatwa pada hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tenteram jiwa padanya, dan tenteram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah pada apa-apa yang syak dalam jiwa dan ragu-ragu dalam hati. Meski orang-orang memberikan fatwa padamu dan mereka membenarkannya. Ini merupakan hadist yang diriwakatkan oleh Muslim. Ketika adik meminta pendapat atas suatu perkara, mintalah fatwa atau pendapat kepada hati adik sendiri. “ kata kak Dewi lalu berlalu setelah mengucap salam untukku.
            Malam itu aku benar-benar merasa kebingungan. Aku mengikuti saran kak dewi untuk menanyakan pada hatiku, apa yang aku rasakan.
            Ya .. aku merasa tidak nyaman dengan hubunganku saat ini dengan Ardi. Aku takut. Aku malu. Aku kini sudah berjilbab, rasanya tidak pantas gadis berjilbab menjalin hubungan tidak halal dengan lawan jenis. Meskipun ketidak halalan itu berlaku universal untuk seluruh gadis muslim baik yang berjilbab atau tidak. kini aku tahu apa yang menjadi sumber ketakutanku. Yah .. aku takut Allah murka padaku atas apa yang aku lakukan. Aku takut Allah tidak mau lagi menegurku akan kesalahan yang aku lakukan. Kini aku sudah temuka jawaban atas kegundahanku. Aku ini gadis muslim yang terlahir dengan segala penjagaan yang Allah ciptakan demi menjaga kehormatanku. Aku tidak boleh menyia-nyiakannya. Kini aku tahu jalan apa yang harus aku ambil.
            Malam itu juga aku langsung menghubungi Ardi. Aku utarakan maksudku yaitu ingin mengakhiri hubungan kami. Tentu saja status pacaran ini. Putus pacaran bukan berarti putus silaturahmi. Aku masih tetap berteman baik dengannya. Tapi tentu saja dengan menjaga jarak aman. Alhamdulillah .. Ardi menerima alasanku. Tapi malam itu ia mengutarakan janji padaku, bahwa suatu hari nanti ia akan datang melamarku. Tidak aku hiraukan apa yang ia sampaikan. Aku yakin itu hanya gombalan.
            Sejak pergulatan hati waktu itu, aku lebih sering mengikuti kegiatan – kegitan dari ROHIS sekolahku. Aku ikut mentoring dan aku mulai sedikit demi sedikit merubah penampilanku. Menjadi lebih syar’I dengan rok panjang, baju yang longgar dan jilbab yang menutup dada. Seperti kak dewi.
            Aku mulai berbenah diri. Aku yakin dengan pilihanku ini. jalan yang Allah pilihkan untuk hidupku. Jalan cahaya yang terang benderang. Alhamdulillah .. orang tuaku sangat bahagia dengan perubahanku. Melalui kebingunganku atas perasaanku ke Ardi dulu, aku menemukan jati diriku sebagai wanita muslimah. Tentu saja perubahanku bukan karena aku ingin mendapatkan jodoh. Tapi memang karena Allah Swt. Dan melalui bimbingan kakak kakak di rohis, aku semakin menguatkan identitas kemuslimahanku.
            Kini diusiaku yang ke dua puluh lima tahun, banyak teman-temanku yang mempertanyakan kapan aku akan menikah. Setiap pertanyaan itu datang, aku hanya akan menjawab, nanti ketika saatnya sudah tepat. Tidak sedikit dari mereka yang memberikan cemoohan atas prinsipku yang tidak mau berpacaran. Yah .. apa yang mereka katakana itu hanya identitas ketidakberpengetahuan, pikirku.
            Aku yakinkan diriku bahwa aku akan bertemu dengan seseorang yang dari tulang rusuknya lah aku diciptakan. Jika tidak di dunia ini, insyaallah nanti di waktu yang ke dua.
***
            “ Assalamu’alaikum ya akhi .. ya ukhti .. “ nada dering Hp ku berbunyi tanda ada panggilan masuk . Ternyata dari Kak Siska, Murabbiku.
            “Assalamu’alaikum, Kak ..” kataku menjawab panggilannya.
            “Wa’alaikumsalam, May. Sedang apa, May? “
            “Sedang mebereskan berkas-berkas kantor kak. Kenapa kak?”
            “Hmmp. Nanti siang ada waktu tidak,May? Bisa kita ketemu di rumah kakak? Ada yang ingin kakak sampaikan. “
            “Insyaallah, kak. Tapi, sekalian makan siang di rumah kakak, ya? Hehe .. “ kataku bercanda.
            “Aman ..” jawan kak Siska.
            “Serius, nih?”
            “Iya. Kebetulan hari ini kakak masak. Jadi jangan lupa datang ya. “
            “Oke.”
***
            Seusai makan siang, kak Siska mulai membuka pembicaraan.
            “May, sudah siap menikah?”
            Aku terdiam. Pertanyaan yang singkat padat dan membuat ku tercekat.
            “May .. “ kata kak siska membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum.
            “Insyaallah, May sudah siap, kak. Tapi .. “
            “Tapi apa, May? “
            “Kan belum ada yang datang mengkhitbah, kak.”
            Kak siska tersenyum, kemudian beliau berdiri dan mengambil sesuatu  dari kamarnya.
            “ Ini .. “ kata kak siska sambil menyodorkan sesuatu. Seperti proposal. Aku terdiam.
            “ apa ini kak? “
            “ini profil seorang ikhwan yang sedang mencari seorang akhwat untuk dijadikan pendamping hidupnya. “ kata kak siska agak lebay.
            “lalu?”
            “lihat lah dulu .. “
            Yah .. aku mulai membuka lembar demii lembar. Hingga di suatu halaman, aku dapati foto seseorang yang tidak asing lagi bagiku. Seseorang yang pernah jadi teman dekatku, yang tak pernah ku dapati lagi kabarnya tiga tahun belakangan. Kini ia rasanya begitu dekat.
            Tiba-tiba aku menangis. Aku merasakan kasih sayang dari Rabb-ku yang teramat sangat. Betapa Ia begitu menyayangiku. Meski rasanya tidak ku percayai, tapi wajah ini memang wajah sahabatku, Ardianyah. Tapi bagaimana mungkin? Ardi yang ku kenal adalah seorang pemuda yang hidupnya mengikuti trend masa kini. Ia menjalankan agamanya hanya sekedar saja. Sibuk dengan grub band yang didirikannya dan segudang aktivitas kekinian yang jauh dari keimanan. Tapi, ia kini begitu berbeda.
            “Kenapa, May? Kamu mengenalnya? “ tanya kak siska agak heran melihatku yang menagis. Aku mengangguk. Ku ceritakan kepadanya tentang aku dan Ardi. Kak siska berdecak tak percaya. Subhanallah ,,
            “ jadi bagaimana? “
            “ May tidak begitu yakin. Tapi tidak ada salahnya di coba kan kak? “ jawabku. Kak siska mengangguk.
            Dan proses ta’aruf itu berjalan setahap demi setahap. Hingga ditentukanlah hari pernikahan dan dilanjutkan dengan acara resepsi pernikan kami.  Tamu undangan satu persatu hadir. Salah satunya Cici yang datang dengan suaminya. Ia yang paling histeris dengan kabar pernikahan kami ini. Tapi aku santai saja menanggapinya. Maklumlah, Cici memang terkadang berlebihan.
            Ditengah acara resepsi pernikahan kami hari itu, aku bertanya padanya yang sejak kami duduk di pelaminan, ia tak pernah melepas tanganku kecuali saat kami harus menyambut tamu undangan yang akan mengucapkan selamat.
            “ Suamiku .. “ kataku berbisik di telinganya.
            “ya .. “ jawabnya membalas.
            “bagaimana bisa?”
            “apanya?”
            “perubahanmu dan pernikahan ini?”
            “semua ini karena kasih sayang Allah kepadaku dan kepadamu.” Jawabnya. Aku tersenyum mengucap syukur dalam hati,
            “bisakah kau ceritakan, kemana saja dirimu tiga tahun belakangan ini? hingga tiba-tiba kau hadir dengan lamaranmu? “
            “bisa.. “
            “kapan?”
            “nanti malam, ketika kita hanya berdua. “

0 Response to "A R D I "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel