Ramadhan ini berbeda, Melalui Dina



“Di depan rumah berpagar hijau itu nanti berhenti ya, Bang. “ kataku pada tukang ojek yang malam ini ku pakai jasanya. Instruksiku tadi dijawab dengan anggukan. Biasanya aku ngojek bukan dengan abang yang ini, tapi sama Bang Dodi, ojek langgananku. Tapi malam ini dia tidak mangkal, mengantar istrinya yang melahirkan, begitu aku dapat informasi saat di pangkalan ojek tadi.
            Sudah sampai di depan kontrakan kecilku, aku turun dan ku bayar jasa tukang ojek ini. Dia berlalu begitu saja setelah menerima uang dariku, tanpa salam sedikit pun. Hah! Perduli apa diriku dengan ucapan salam yang entah kapan terakhir rasanya aku mendengar kalimat  itu.
            Aku bergegas masuk. Lelah sekali rasanya malam ini. Padahal bisa dibilang malam ini aku tidak mendapat pelanggan. Tiga jam lebih aku mondar mandir di café biasa tempatku mencari lelaki hidung belang, tapi nihil hasilnya. Entah kenapa! Mungkin karena malam ini malam jumat. Buaya-buaya itu mungkin berubah menjadi alim malam ini. Ada-ada saja, pikirku.

            Aku rebahkan badaku setelah membersihkan riasan yang menempel di wajah ini. aku menatap nanar langit-langit kamarku. Perih. Bisa ku rasakan ada yang menggenang di sudut mata ini. aku menutup mata, dan mengalirlah buliaran air mataku.
***
            Lelahku belum hilang, padahal pagi ini aku harus ke kampus, mengikuti mata kuliah dari salah seorang dosen yang terkenal killer. Tapi apa boleh buat, sudah tiga kali aku tidak mengikuti mata kuliah ini, jika aku bolos lagi, aku tidak akan bisa ikut ujian. Ya Tuhan, tolonglah. Aku hanya ingin istirahat.
            Istirahat? Dari apa, bathinku. Tentu saja dari aktivitas membosankan ini. aku bosan, pulang kuliah harus segera pulang ke kontrakanku, berdandan secantik mungkin untuk tetap bisa mengisi dompetku. Yah, kiriman dari orang tuaku dari kampung amat sangat tidak cukup memenuhi kebutuhanku di kota ini. sebagai mahasiswi fakultas ekonomi di universitas kenamaan diprovinsi ini, aku tidak akan bisa di pandang jika tidak memiliki simpanan uang yang berlebih melebihi kantong anak kost. Aku juga tidak bisa melihat teman temanku yang lain sibuk membeli ini itu, sedangkan aku hanya bisa melihat-lihat. Really I cant!
            Yah, aku iri dengan teman temanku yang memiliki uang jajan berlebih sehingga bisa pergi ke salon, nonton, dan hange out setiap weekand. Aku iri dengan mereka yang bisa berdandan sesuai trend dan memiliki banyak teman cowok yang bisa di ajak ketawa ketiwi saat mereka duduk di kantin. Aku iri dan iri. Aku tidak mau dipanggil sebagai anak daerah yang cupu dan kucel. Ini yang menjadi motivasi ku untuk mencari sumber dana untuk hidupku.
            Well, pucuk dicinta  ulam pun tiba. Secara tidak sengaja aku mendengar pembicaraan seorang teman sekelasku saat aku pergi ke toilet. Aku bisa mendengar dengan jelas bagaimana ia berbicara dengan lawan bicaranya yang entah ada dimana. Mungkin ia tidak menyadari kehadiranku atau orang lain sehingga dia enjoy saja. Gaya bicaranya yang manja dan sedikit menggoda, membuatku bertanya-tanya. Dengan siapa ia berbicara, apa tujuannya dan serangkaian pertanyaan lainnya.
            Saat ia menyadari kehadiranku, bisa ku tangkap ekspresinya yang sangat terkejut. Dengan gugup ia mengakhiri pembicaraannya via telpon tadi.
            “ Laras .. sedang apa? “ sapanya mencoba menetralisir keadaan.
            “ Tidak ada, hanya ingin berkaca. “ kataku santai sambil merapikan rambutku yang hari ini ku urai.
            “ Sejak kapan kamu di sini? “ tanyanya lagi.
            “ Tidak begitu lama, tapi cukup untuk mengetahui dengan siapa kamu berbicara di telpon tadi. “ jawabku, dan sepertinya temanku ini mulai gelisah.
            “ Laras kamu jangan bilang ke siapa-siapa ya. “ katanya lagi. Aku sedikit bingung, tapi aku mencoba mengendalikan situasi.
            “ Aku tidak janji. ! “
            “ Laras tolonglah, aku terpaksa melakukannya. Andai saja aku terlahir sebagai anak orang kaya seperti Tari, Siska, Vivi and the gank. Aku juga tidak akan mau seperti ini. “
            Saat itu kendali situasi ada di tanganku. Entah karena memang aku yang ahli membaca situasi atau temanku ini saja yang sangat teledor. Baru aku bilang bahwa aku tahu dengan siapa ia berbicara, dia sudah kebingungan dan akhirnya membongkar semua rahasianya. Padahal tadinya aku pikir dia berbicara dengan pacarnya, tapi ternyata.. aku mulai tertarik dengan pembicaraan ini.
            “ sejak kapan kamu berprofesi seperti ini? “ tanyaku usai dia bercerita.
            “ sejak semester lalu setelah aku berkenalan dengan salah seorang kakak tingkat kita. Entah kenapa waktu itu dia mendekatiku dan aku enjoy saja diajak olehnya. Jadilah terbawa sampai sekarang. “ jawabnya.
            “ kamu tidak takut? “
            “ awalnya sih takut, tapi semakin ke sini aku semakin santai saja. Toh juga banyak yang seperti aku ini. “
            Jujur aku kaget. Aku tidak menyangka saat temanku ini, Ratri, menyebutkan satu per satu teman kamu yang berprofesi sebagai… ayam kampus. Apalagi saat ia menyebutkan salah satu nama kakak tingkat yang terkenal baik dan ramah di kampus ini. beliau salah satu senior yang aku segani karena penampilannya yang anggun dan terlihat sebagai cewek baik-baik.
            Aku tidak perlu bercerita panjang lebar. Yang jelas sejak obrolanku yang tanpa sengaja dengan Ratri waktu itu, membuatku semakin dekat dengannya dan membuatku secara tidak langsung mengenal dunianya. Hingga aku pun terperosok ke dalam lembah hitam itu.
            Hah mulai lagi. Aku mendengus kesal mengingat kejadian itu. Dengan agak malas aku paksakan bangkit dari tempat tidurku dan berjalan menuju toilet. Aku mandi dan bersiap berangkat ke kampus. Walau rasanya sudah tidak ada gunanya lagi aku kuliah.
***
            “Assalamu’alaikum .. “ aku mendengar seseorang memberi salam saat aku berjalan di koridor menuju ruang kelas. Aku tidak yakin salam itu ditujukan padaku, tapi tidak ada salahnya kan aku memastikan? Ku alihkan pandanganku ke samping kanan, dan ku dapati gadis berjilbab panjang yang wajahnya sedikit asing bagiku. Aku diam.
            “ Assalamu’alaikum.. Laras? “ salamnya kali ini membuyarkan pandanganku. Aku berhenti, ia pun begitu.
            “ wa’alaikumsalam. “ jawabku kaku.
            “ Apa kabar Laras? “ katanya sambil menjabat tanganku dan lalu memelukku. Aku agak kaget sebenarnya, tapi entah kenapa aku tidak risih sama sekali.
            “ Baik, hmmp. Siapa ya? “ tanyaku . Dia kaget.
            “ Astagfirullah Laras. Sudah tidak ingat lagi sama aku? Aku Dina, Laras. Temen satu jurusanmu juga, hanya saja kita hanya sekelas saat semester satu kemaren. “ terangnya. Aku mencoba mengingat-ingat.
            “ Astaga .. iya Din. Aku baru ingat sekarang. Kamu sangat berbeda makanya sulit untuk aku kenali. “
            “ berbeda? Berbeda apanya, Ras? “
            “ seingatku kamu dulu tidak berjilbab, tapi sekarang .. “
            “Alhamdulillah, Allah masih menyayangiku. “
***
            Pertemuan singkat saat itu sangat berkesan bagiku. Saat itu, aku dan Dina bertukar nomor telefon. Jadilah, ia sering menghubungiku. Sekedar menanyakan kabar atau mengirim sms yang berisi info kegiatan dari salah satu lembaga keislaman di kampus kami. Tidak jarang ia mengajakku untuk pergi bersamanya. Tapi aku selalu menolak. Tentu saja dengan berbagai alasan, tidak mungkin aku mengatakan bahwa aku tidak tertarik dengan kegiatan keagaaman seperti itu karena aku ini mempunyai kegiatan yang sangat sangat bertentangan dengan ajakannya.
            Sampai suatu ketika ia mengajakku untuk mengikuti kajian dari bidang keputrian,  apalah itu namanya. Dina bilang, itu merupakan forum diskusi untuk para mahasiswi, dimana di dalamnya bisa dibahas segala macam bentuk problematika wanita dan bagaimana cara menyikapinya.
            “ Ayo lah Laras. Sekali ini saja .. Kamu sama sekali belum pernah mau menemaniku. Padahal aku sudah beberapa kali mengikuti ajakanmu ke mall ini, mall itu. Bukannya aku ingin pamrih, tapi Please kali ini saja. Aku yakin nanti kamu akan merasa nyaman, jika tidak aku janji tidak akan mengajakmu lagi. “ katanya merayuku di suatu kesempatan.
            “ Dina, aku tidak  ada waktu. Aku harus buru buru pulang. Aku harus kerja. “ jawabku.
            “ Kamu ini selalu saja ada alasan. Acaranya kan hari minggu, kamu masa tidak libur kerjanya. “ katanya lagi. Kali ini aku agak bingung.
            “ ayolah Laras. Kajian kali ini sangat istimewa. Temanya tentang bagaimana kita sebagai cewek menyikapi bulan ramadhan. Sebentar lagi kan bulan ramadhan, jadi kita harus bersiap siap. Pematerinya pun sangat luar biasa. Seorang ustadzah muda lulusan pesantren kenamaan di Jawa sana. Aku sudah pernah mengikuti acara yang di isi oleh beliau. Pembawaannya sungguh apik dan tidak membosankan. Hayolah .. “ penjelasannya begitu panjang, membuatku bingung mau memberi alasan apa lagi untuk menolak. Mendengar ia menyebut bulan ramadhan, aku agak merinding. Tahun lalu aku sama sekali tidak terlibat di dalamnya.
            “ Baiklah .. “ kataku dengan nada yang pasrah. Ia tersenyum tanda menang.
***
            “ Saudariku, jadilah kita sebagai seorang wanita ibarat sebuah mutiara yang sangat mahal. Orang-orang mungkin bisa melihat, tapi tidak mampu memilikinya. Hanya orang-orang tertentu yang bisa membawanya pulang dan menjadikannya perhiasan terindah. Jangan sampai kita menjadi perhiasan imitasi yang telah sompel yang siapapun, bisa memiliki kita. Dapat dibeli dengan harga murah karena kita tidak lagi memiliki keistimewaan. Mumpung sebentar lagi kita akan memasuki bulan ramadhan, bulan yang di dalamnya terdapat berbagai keistimewaan. Ampunan dari Allah bertebaran di mana mana. Jadi manfaatkan saat itu untuk meminta ampunan kepada-Nya. Bertaubat dari kesalahan kesalahan kita. Yakinlah,kehidupan dunia itu tidak ada apa-apanya dibanding kehidupan akhirat. Jika saat ini dirimu diliputi kebimbangan akan dirimu, maka ini saatnya untuk berbenah diri. “
            Aku tertegun mendengar kalimat pemateri dalam acara kajian yang tempo hari ditawarkan Dina untuk aku datangi. Hatiku sesak. Ada yang lain rasanya. Tapi aku pun tidak tahu apa.
***
            Entah mengapa rasanya akhir-akhir ini aku sangat malas untuk berkumpul bersama Ratri dan yang lainnya. Aku sangat nyaman bersama Dina dan teman-temannya yang sangat ramah dan santun. Aku sadari ada yang berubah didiri ini. yah .. aku sudah mulai berbebah diri. Aku mulai mendirikan shalat meski belum lima kali sehari. Aku sudah mulai rajin mengikuti kajian bersama Dina. Aku tidak lagi nongkrong di café seperti biasanya. Hingga Ratri dan teman teman sempat mendatangiku di kontrakanku dan memaksa aku untuk menjajakan diri lagi. Mereka mencaciku atas alasanku yang tidak ingin lagi mengikuti mereka. Karena aku sudah lelah. Berat rasanya pundak ini memikul dosa yang tiada tara.
            Benar yang disampaikan Dina beberapa waktu lalu. Berubah menjadi lebih baik itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh banyak pengorbanan karena menghadapi berbagai tintangan . Tapi Dina mengiming-imingiku dengan syurga dan ampunan yang akan Allah berikan dengan cuma-cuma untuk hambanya yang bertaubat nasuha. Aku tidak tahu mengapa Dina bisa memberiku nasehat seperti itu, seolah dia sudah tahu dimana letak salahku. Tapi rasanya tidak mungkin. Aku tidak pernah bercerita padanya.
***
            Malam ini rasanya begitu dingin. Bukan karena cuaca ku rasa, tapi datangnya dari dalam diri ini. aku tidak tahu karena apa . tapi rasanya aku begitu cemas. Aku bergegas menuju kamarku. Merebahkan diri dan ku selimuti badanku yang kini terasa lebih dingin. Peluhku mengucur membahasi badanku dan membuatnya bertambah dingin. Mataku pun terasa sangat berat, hingga aku tidak tahu lagi apa yang terjadi.
            Duduk di hadapanku seorang Ibu. Dengan wajah sendu yang rasanya sangat kelabu. Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Tapi sangat jelas bagiku garis wajahnya. Penuh rasa haru ia menatapku. Seakan ingin memeluk diriku. Ia lalu bercerita tentang, anak gadisnya yang tlah tiada karena sakit tak terobati, yang wajahnya mirip denganku.
***
Siang itu aku mampir ke kostnya Dina. Melepas lelah setelah beberapa hari ini kami sibuk di kampus. Aku memutuskan untuk aktif di lembaga dakwah kampus walaupun di sini aku berperan sebagai objek yang didakwahi. Tidak seperti Dina yang sibuk menjadi panitia acara ini dan itu. Aku pasrah saja didakwahi Dina dan teman-teman.
Terkadang sulit menjinakkan hati ini yang merasa aku begitu hina dan tak pantas berada di lingkaran ini. Apalagi diriku ini yang sudah lama alpa dalam agamaku. Tapi Dina selalu ada menemani dan membimbingku. Harapku, hijrahku ini bisa mengobati luka dan penyesalanku yang tak terperi lagi.
Hingga aku temui ramadhan yang berbeda kali ini. Bersama Dina dan semua orang yang tak pernah putus memperhatikanku. Hampir setiap hari aku bersama mereka. Banyak yang bilang aku dan Dina sudah seperti kakak dan adik karena keakraban kami. Rasanya begitu syahdu, saat aku lalui waktu bersama gadis gadis suci yang tak tersentuh gemerlab  duniawi seperti ku dulu.
Ya .. Ramadhan ini aku sudah lepas dari jeratan dunia yang menggerogoti imanku. Ramadhan ini berbeda, melalui Dina, Allah menunjukkan kasih sayang-Nya padaku. Aku memutuskan untuk ikut kemana pun Dina pergi. Inginku, semester depan kami harus mengambil jadwal mata kuliah yang sama. Agar lebih sering bersamanya. Seperti saat ini, aku dan Dina istirahat sebentar di kostnya.
Aku kembali melihat lihat isi kamar ini. Aku dapati sebuah album foto yang cukup tebal. Aku meminta izin Dina untuk melihatnya. Satu persatu aku pandangi gambar-gambar penuh kebahagiaan itu.
Astagfirullah .. Bathinku. Ku lihat gambar seorang ibu yang sedang bersama Dina.
“ Siapa ini Din? Ibumu? “ tanyaku,sambil menunjukkan foto tersebut. Dina mengangguk sambil tersenyum. Mimpi itu? Aku sedikit gemetaran, karena aku yakin betul, Ibu Dina inilah yang ada di mimpiku itu. Ya Allah .. Dari-Mu kah mimpi itu atau dari syetan yang ingin mengganggu.
Aku benar-benar kelu. Ku putuskan untuk rebahan di tempat tidurnya Dina. Aku menyamping menindih badan bagian kananku mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Ku letakkan tangan kananku di bawah bantal. Aku merasakan sesuatu, sebuah buku ku rasa. Perlahan ku ambil buku itu, berharap Dina tidak tahu yang kulakukan. Dia sedang sibuk membersihkan rontokan rambutnya di lantai. Aku yakin dia tidak menyadari tindakanku.
Aku sedikit lancang memang, tapi aku ingin tahu buku apa yang sedang ku pegang ini. Berharap aku bisa mendapatkan jawaban atas mimpiku yang lalu. Aku pastikan posisiku aman untuk membaca isinya. Ternyata buku agenda Dina yang sempat beberapa kali aku melihat ia membawanya, tapi aku tidak pernah diizinkan untuk meminjamnya, padahal jika aku meminjam buku lain, ia akan dengan senang hati meminjamkannya padaku.
Aku sudah tidak sabar lagi. Perlahan ku baca pada tulisan terakhir Dina. Aku agak gugup, jantungku berdebar rasanya. Ya Rabb maafkan hamba ..
Dear diary ..
Aku bahagia, Laras sudah sangat jauh berbeda dari yang ku lihat saat di Mall dulu. Bergandengan mesra dengan pria yang aku pun tidak tahu mengapa. Alhamdulillah, Allah membantuku untuk mengembalikkannya pada cahaya Islam. Kini ia sudah menjadi gadis yang anggun, meski belum berjilbab. Sempat tidak ya aku menjalankan tugasku hingga aku bisa melihatnya berjilbab secara kaffah? Insyaallah bisa ! ^^
Diary.. Vonis dokter terhadap kanker darahku ini sedikit membuatku takut. Tapi aku harus optimis! Toh bukan dokter yang menentukan umurku. Tapi tidak apa kan aku menjadikan itu patokan agar aku bisa mempersiapkan semuanya, menghadapi akhir waktuku di dunia ini. Semoga saja sakitku ini bisa menjadi pengugur dosa-dosaku. Aamiin..

0 Response to "Ramadhan ini berbeda, Melalui Dina"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel