D I N D A
Sekarang aku hanya bisa melihat
senyumnya dalam bayanganku saja. Tak pernah lagi aku melihatnya tertawa riang
seperti dulu ketika ia tak begini. Jika pun ia tertawa, itu hanya lah ekspresi
kegilaannya. Bukan lagi wujud kewarasan.
Aku harus bolak-balik ke panti
rehabilitasi ini, melihat kondisinya yang seperti mayat hidup, antara ada dan
tiada. Tubuh kurus, layu dan tatapan hampa. Ia seperti terbuai dalam mimpinya
sendiri, entah apa. Ingin rasanya aku masuk dalam khayalnya itu, agar aku tahu
apa yang bisa aku lakukan untuk menyembuhkannya.
Antara sedih dan marah tiap kali aku
melihat sesosok tubuh tak bersemangat itu. Bayangku selalu tertuju pada reka
adegan setahun silam, yang ketika ku teringat, hati ini bagai terhujam sembilu.
Tangis tercekat di tenggorokanku. Perih!
***
“apa kegiatanmu hari ini?” tanyaku
padanya pagi itu.
“aku akan pergi dengan Rio. Ada
pesta kecil-kecilan di rumahnya. Hari ini dia ulang tahun.” jawabnya sambil
terus berdandan.
“siapa saja yang pergi?”
“aku dan beberapa teman dekatnya.”
“sampai jam berapa?”
“sudahlah, Rika.. Berhentilah
bersikap seolah kau adalah ibuku!”
***
Jam dinding menunjukkan pukul 22.50
wib. Teman-teman kost yang lain sudah menikmati tidurnya. Hanya satu kamar yang
penghuninya masih terbangun. Aku. Menunggu sahabatku yang tak kunjung pulang
sejak pertengkaran kami sore tadi. Berulang kali aku menghubungi nomor
ponselnya, tidak aktif.
Aku mulai risau. Tak biasanya dia
begini. Aku bergegas mengambil jaket, tas dan kunci motorku. Melaju
dikebingaran kota ini menuju tempat yang aku tak tahu pasti apakah seorang yang
aku cari ada di sana. Hingga tibalah aku pada alamat yang ku tuju, tapi rumah
besar bercat hijau itu tampak sepi.
“Assalamu’alaikum, Pak..” sapaku pada
lelaki paruh baya yang kudapati tengah duduk santai di pos jaga rumah ini.
“Wa’alaikumsalam, Dek. Cari siapa?”
jawabnya.
“Rio ada, Pak? Saya mau memberi
hadiah ini. Hari ini dia mengundang saya ke pesta ulang tahunnya. Dia bilang
pestanya diadakan di rumah. Tapi kenapa terlihat sepi ya, Pak? Apa pestanya
sudah selesai?” jawabku agak gugup. Beliau melihat ke arah tanganku. Sebelum
sampai ke sini, aku mampir terlebih dahulu ke toko penjualan berbagai jenis
kado. Aku hanya membeli kotak kadonya saja. Hanya itu, untuk sekedar
berpura-pura, jikalau seandainya aku menemui kejadian begini. Bertemu penjaga
rumahnya.
“Pestanya ada, Dek. Di lantai dua.
Tapi… “
“Tapi apa, Pak?”
“Kenapa adek baru datang jam segini,
dan.. pakaian adek, apa tidak salah?” aku terdiam. Kembali memutar otak untuk
menjawab kecurigaan bapak ini.
“Saya baru pulang dari kegiatan
kampus, Pak. Belum sempat pulang untuk ganti baju, langsung buru-buru ke sini.
Memangnya kenapa, Pak? Kucel ya?” Aku menjawab seadanya. Ya Allah, aku berbohong lagi.. Sebenarnya aku merasa takut, tak
pernah aku keluar rumah semalam ini. Belum lagi perasaan bersalah. Apa pantas
jilbaber sepertiku keluar rumah tengah malam begini? Tapi bagaimana lagi, aku
benar-benar khawatir dengan sahabatku. Allah,
maafkan aku.. Doaku lirih..
“Bukan, tapi jilbabnya itu lho.. “
“Memangnya kenapa, Pak?” jawabku
menyelidik. Malam itu aku mengenakan rok santika warna hijau, dan jaket model
Army untuk menutup jilbab panjangku.
“Ya, aneh. Masa pergi pesta begini,
dandanannya kaya mau pergi pengajian. Yang di dalam malah hanya pakai rok-rok
pendek. “ kata beliau sedikit nyengir. Aku hanya cengengesan, menyembunyikan
kecemasanku yang semakin menjadi-jadi. Pesta begini? Maksudnya?
“Bapak ini bisa saja.. Memangnya
pestanya, pesta bagaimana,Pak?”
“Ngga tau lah, Bapak. Tapi bapak
sarankan adek jangan ikuti pesta ini. Kecuali kalau jilbab adek ini cuma
topeng.” kata beliau sambil membuka pintu pagar.
Aku tersenyum getir, ketika
mendengar kalimat bapak ini. Setelah pagar di buka, aku masuk sambil membawa
motorku. Aku masuk lewat pintu bagasi setelah aku memarkirkan motorku tak jauh
dari pos jaga, begitu arahan dari Pak Agus, bapak penjaga tadi.
Ruang yang pertama ku masuki ini
adalah dapur. Tak ada siapa-siapa di sini. Masuk ke ruang tengah, terdengar
suara music dari lantai atas. Cukup keras. Aku melihat ke lantai atas, Dengan
agak gugup aku menapaki satu per satu anak tangga. Teringat akan kalimat Pak
Agus tadi. Tapi bapak sarankan adek
jangan ikuti pesta ini. Kecuali kalau
jilbab adek ini cuma topeng.
Aku tiba di bibir atas tangga. Tanpa
izin, aku bergabung dengan mereka. Pesta yang tidak beres ternyata, ku lihat
botol minuman keras ada dimana-mana. Mungkin karena itulah mereka tak begitu
menyadari kehadiranku. Remang. Ada beberapa wajah yang ku kenal, tapi yang ku
cari tak kunjung ku temukan. Yang ada hanya sekitar delapan orang. Ada empat
pasang muda-mudi yang “teler” di ruang tengah lantai atas ini. Aku terus mencari.
Kususuri satu persatu sudut ruangan dengan tetap berdiri di bibir tangga. Mataku
tertuju pada jam dinding yang cukup besar di ruangan ini, pukul 01 dini hari. Di
pojok kanan, ku lihat ada kamar yang sedikit terbuka pintunya. Dengan lancang
aku masuk tanpa memberi aba-apa, dan..
Tanganku dengan gesit menarik kerah
baju seorang pria. Ku lihat ia hendak menyuntikkan sesuatu ke lengan gadis lugu
yang ku kenal. Ku tarik sekuat tenaga hingga ia terhempas menghujam lemari yang
berada tepat dibelakangnya. Gadis ini duduk setengah sadar di sofa kamar ini.
Dengan sigap aku membuka ikatan kain yang mengikat lengan kanannya. Tapi aku
merasa ada yang datang dengan cepat dari arah belakangku, lalu….
Aku diam. Beku. Ku lihat ada aliran
darah segar mengucur dari kepala gadis yang ku sayangi ini. Kakiku terasa
lemas. Harusnya vas bunga yang hendak dihujamkan lelaki itu mengenai kepalaku,
namun aku berhasil mengelak, tapi serangan itu akhirnya salah sasaran.
Aku berang. Ku dekati lelaki yang
juga tengah terpaku itu secepat kilat. Ku layangkan kepalan tangan kananku
menuju pipi kirinya. Ia sempoyongan. Ku pukuli lagi dan lagi. Suara music yang
cukup keras dari luar membuat yang lain tak menyadari apa yang tengah terjadi
di kamar ini. Aku lihat lelaki itu tak berdaya. Aku pun kelelahan. Sudah lama
aku tak mempraktekkan ilmu karate sabuk hitamku, sejak aku memilih untuk
berjilbab.
Aku menelfon seorang teman yang
punya koneksi ke kepolisian di kota ini. Beberapa saat dua mobil polisi
menyambangi rumah yang tengah mengadakan pesta miras dan narkoba tersebut. Rio
si pemilik rumah jadi sasaran utama. Tak lupa aku meminta polisi-polisi ini
untuk mendatangkan ambulance. Sahabatku butuh pertolongan.
“Maaf, Pak.. Saya hanya ingin
menjemput teman saya. Saya tidak tahu jika akhirnya begini. “ kataku kepada Pak
Agus.
“Tidak apa, Dek. Semoga dengan ini,
Rio jadi sadar. Bapak tidak bisa berbuat banyak. Orang tua Rio sebentar lagi
akan kemari. “
Polisi memboyong seluruh peserta
pesta untuk dimintai keterangan tentang kejadian malam itu, termasuk Pak Agus.
Aku bergegas mengikuti ambulance yang membawa temanku ke rumah sakit. Ia
mengalami pendarahan di kepalanya.
***
Aku menatap lekat wajah yang pucat
pasi itu. Aku memeluknya dalam. Ku harap ia merasakan kerinduan di hatiku ini
atas dirinya yang dulu, sebelum mengenal lelaki yang kini mendekam di penjara,
sebelum mengenal pergaulan yang merusak cita-citanya, sebelum ia mengenal dunia
yang ia katakan bisa menghilangkan kesedihannya ditinggal mati kedua
orangtuanya, sekitar lima bulan sebelum kejadian malam itu. Tangisku berderai
tak henti. Hati ini sakit menyesali kejadian malam itu. Mulutku merucau
mengungkapkan penyesalanku. Isi hatiku yang tak terbendung mengharapkan
kesembuhannya.
“Din, apa yang kini kau rasakan.
Bicaralah.. katakan padaku. Aku merindukanmu.. aku rindu saat kita makan
berdua, bercanda, belajar bersama. Bicaralah, Din! Sadarlah!” kataku sambil
memegang bahunya dan sedikit mengguncang tubuhnya, berharap ada reaksi dari
sahabatku ini. Tapi nihil.
Lama aku memeluknya sambil terus
membelai punggungnya yang terasa ringkih. Aku sesegukan menahan sakit di hatiku
ini. aku mendekapnya erat. Lalu, ku rasakan basah dan hangat di bahu kananku.
Aku melepaskan pelukanku padanya. Ku lihat ia menangis.
“aku mau menyusul ibuk dan ayahku.
Kau ingin ikut, Rika?” Tanyanya datar. Aliran darah terasa deras ku rasa dalam
tubuhku. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Ia tersenyum, manis
sekali.
“Jangan pergi, Dinda.. Kau harus
sembuh!“ bisikku. Aku memeluknya lagi sambil menahan haru. Asa ku tumbuh
mendengarnya bicara. Lafazku tak henti berdoa, memohon kesembuhan kepada Sang
pemegang nyawa. Lama, hingga kurasakan tubuhnya melemah. Lunglai. Dingin.
Akhirnya beku dan kaku.
“Dinda……..!!”
0 Response to "D I N D A"
Posting Komentar