Berbatas Setipis Kain



            Liburan kali ini sungguh berkesan. Bagaimana tidak? Aku yang terlahir dari kota bertuah, tak pernah sekalipun merasakan bagaimana sejuknya belaian angin yang berhembus dari arah lautan menuju pantai. Namun diliburan kali ini, di usiaku yang beberapa bulan lagi genap 20 tahun, tlah bisa ku rasakan kenikmatan itu.
            Aku beserta rombongan perjalanan yang terdiri dari pengurus  sebuah yayasan yang bergerak dibidang pembinaan remaja di kotaku, mengisi liburan kali ini dengan menjelajahi Provinsi Sumatera Utara. Kala itu lah, aku bisa merasakan sejuknya aliran sungai yang sangat jernih, deru deram suara ombak, sejuknya angin pedesaan, hijaunya sawah yang belum tiba masa panennya, serta memandang kebesaran Allah dari tingginya bukit yang dibawahnya terhampar danau singkarak 
            Pukul 2 malam aku tiba di rumah yang saat itu hanya ayahku yang masih terjaga, karena memang sengaja untuk menunggu anak bungsunya ini pulang. Usai bersih-bersih, aku langsung menuju kamarku yang sudah tiga malam aku tak ada di sana. Badanku terasa sakit usai menempuh perjalan liburan ini dengan fasilitas apa adanya. Walau begitu, bagiku ini sungguh berkesan.
            Esoknya, aku mengajak ibuku untuk menemaniku pergi ke ‘tukang urut’ tradisional langganan kami. Badanku terasa pegal semua karena duduk berlama-lama di dalam mobil. Rasanya tentu akan nikmat sekali jika badan ini diurut, pikirku.
            “Perut anak ibu keras, saya rasa karena ada kista. Coba nanti cek USG.” Kata ibuk tukang urut tersebut sembari mengurut perutku.
            Rasanya kakiku tiba-tiba mendingin mendengar apa yang beliau sampaikan. Kista? Aku tahu penyakit itu, tapi aku tidak tahu pasti. Aku pernah membaca Koran, ada seorang ibu yang perutnya membesar karena penyakit ini. aku juga pernah membaca cerpen yang judulnya kistadenoma, bercerita tentang seorang gadis yang perutnya membesar layaknya ibu hamil, juga karena penyakit ini.
***
            “Hebat ya tukang urut itu. Bisa mendeteksi adanya kista. Saya saja jika hanya dengan tangan kosong, tidak tahu apa ada kista di tubuh pasien atau tidak.” Kata dokter yang sedang melakukan USG terhadap keluhanku.
            “Sudah seberapa besar dok, kistanya?” kataku berusaha setenang mungkin mendengar penjelasan sang dokter terhadap penyakitku ini.        
            “Sudah 10 cm. itu yang paling besar. Kamu lihat ini dan ini? bisa jadi bakal kista juga. Harus segera dibersihkan.” Jelas sang dokter sambil menunjuk ke layar monitor.
            “Maksudnya, dok?”
            “Harus segera di operasi. Jika dibiarkan, takutnya kistanya pecah dan akhirnya menjadi kanker. Atau bisa semakin membesar. Saya sarankan kamu ke rumah sakit ini, temui dokter ini, beliau dokter senior. Kamu masih gadis, butuh tangan ahli untuk melakukan operasi.”
            Kali ini bukan hanya dingin, aku tak lagi merasakan tubuhku sendiri. Kista. Membesar. Operasi. Ya Allah..
***
            “Dari mana, Rin?” Tanya kakak iparku saat aku mendatangi rumahnya sehabis dari pemerikasaan tadi.
            “Rumah sakit,Kak. Periksa.” Jawabku seadanya.
            “Hasilnya?” Tanya kakakku lagi. Wajahnya mengguratkan kecemasan. Itu baru kakakku, bagaimana jika ibuku yang bertanya. Entahlah. Aku hanya mengangguk menjawab tanya kakakku tadi.
            “Kata dokternya, udah 10 cm. Harus operasi. Dokter itu rekomendasi operasinya dengan dokter ini kak, di rumah sakit ini.”
            “Ya lah, nanti kita cek lagi.”
***
            Beberapa kali aku melakukan pemeriksaan di rumah sakit dan dengan dokter yang berbeda. Aku tak ingin gegabah. Bisa saja ada kesalahan, harapku. Setelah pemeriksaan pertama, aku tak sendiri lagi, kali ini aku ditemani kakak iparku, Kak Icut. Aku jadi teringat dengan cerpen yang ku baca, persis dengan kondisiku saat ini. Bedanya, perutku belum seperti ibu-ibu yang sedang hamil 4 bulan ke atas.
            “Operasi aja, bang.. Rina takut, jika pakai pengobatan tradisional, yang ada bukan sembuh. Tapi tambah parah. Dokter juga melarang. Kalau operasikan bisa di bayar lewat asuransi, tapi kalo pengobatan tradisional kita harus siapkan uang cash. Lagi pula, rahim Rina juga ngga akan diangkat. Kistanya ada di indung telur sebelah kiri. Rina masih bisa punya anak,” putusku ketika berdiskusi dengan keluargaku malam itu. Mereka ikut saja dengan keputusanku. Jadilah, esoknya aku kembali memeriksakan diri ke salah satu rumah sakit kenamaan di kotaku, yang kebetulan berjarak tak begitu jauh dari rumahku. Hanya butuh waktu 10 menit dari rumahku jika menggunakan mobil. Aku membuat janji untuk operasi dengan dokter kandungan di rumah sakit ini. namanya Dokter Lili. Setelah cek darah dan melihat hasilnya, operasi bisa dilakukan hari minggu pukul 06 pagi.
***
            Malam itu aku sudah harus menginap di rumah sakit. Risih rasanya, karena ini pertama kalinya aku menginap di rumah sakit, apalagi sebagai calon pasien. Sejak sore, aku memberi informasi kebeberapa teman dekat soal kondisiku. Aku juga mohon doa. Semoga operasiku ini berjalan lancar. Banyak diantara mereka yang tidak percaya, menganggapku hanya bercanda. Mungkin karena semua informasi ini mendadak. Bukan hanya bagi mereka, juga bagiku. Meskipun termasuk operasi kecil, tetap saja aku khawatir. Belum lagi melihat wajah ibuku yang sangat tergambar kecemasan didirinya. Doakan Rina, ma..
***
            Usai sholat subuh, aku dituntun oleh seorang perawat untuk berganti pakaian operasi. Untuk menuju ruang operasi, aku disodori kursi roda. Aku menolak. I’m fine, batinku. Sebelum masuk ruang operasi, aku masuk dulu di ruang kecil untuk diinfus. Pertama kalinya tanganku disuntik untuk dimasukkan selang infus. Perih. Abangku yang sedari tadi malam menemani, harus berhenti sampai di ruangan ini. Aku digiring memasuki ruang operasi yang sebenarnya.
            Aku diminta untuk duduk di tempat operasi berlangsung. Ku lihar Dokter Lili sibuk dengan peralatan medisnya. Monitor, lampu, perawat yang berlalu lalang dengan pakaian yang seragam, tidak lupa masker dan sarung tangan plastiknya. Mirip seperti yang seringku lihat di televisi.
            “Agak sakit sedikit ya.. “kata Dokter Lili seraya menyuntikkan sesuatu di pinggul belakangku. Aku rasa itu obat bius. Kemudian aku di suruh berbaring. cahaya lampu terasa menusuk mataku. Aku rasakan ngilu yang teramat sangat mulai dari pinggul hingga kakiku. Aku meringis. Kemudian tak ku rasakan lagi apa-apa.
***
            Aku terbangun dari ketidaksadaranku. Ku rasakan dingin yang teramat sangat dari ujung kaki hingga ujung jemari tanganku. Beku. Dari gigiku terdengar bunyi akibat dingin yang hebat. Kurasakan kering dan kehausan yang kesat ditenggorokanku. Ku lihat orang berlalu lalang, tapi suaraku tak mampu keluar meminta mereka memberikanku seteguk air. Tiba-tiba dadaku sesak terasa terhimpit benda keras dan panas. Nafasku mengganjal ditenggorokanku. Ya Allah.. inikah sakratul maut? Lirihku membatin.
***
            “Gimana kondisinya, ukh?” aku hafal betul itu suara siapa. Saudariku, Novi.
            “Alhamdulillah baik ukh..” jawabku masih menahan nyeri di perutku.
            Ruangan kamar ini penuh dengan saudari-saudariku yang sudah menunggu sejak aku baru dipindahkan dari kamar operasi tadi. Sekarang aku ada di kamar inap. Dalam hitungan 24 jam aku tak boleh bangkit dari tempat tidur. Pinggangku sakit sekali rasanya. Tapi untunglah ada saudari-saudariku yang setia menghibur. Bukan hanya menghiburku, tapi juga menghibur ibuku yang tampak sekali kecemasan di gambar wajahnya. Tak henti-henti beliau mengusap-usap kepalaku. Sesekali aku merintih menahan perih. Ujung mataku masih terasa basah dan hangat.
            Kini aku sadar, kebahagiaan dan kesedihan itu hanya berbatas setipis kain, begitupun sebaliknya. Di satu waktu aku baru saja tertawa renyah, kemudian aku bisa tak henti menangis. Nikmatnya sehat tak pernah aku syukuri, sebelum sakit ini ku rasakan mengiris kulit. Entah sudah berapa banyak dosaku karena lalai bersyukur.

1 Response to "Berbatas Setipis Kain"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel